“Ayo anak-anak, sebentar lagi
jam 18.00, maghrib akan tiba, segera siap-siap, mandi, pakai baju yang rapih,
sarung, kopyah, segera berangkat ke masjid An-Nur, kita sholat berjamaah”. Serentak
terdengar “iya kang”.
Sore itu saya benar-benar semangat melihat anak-anakku, adik-adikku, yang
sholih-sholih. Suasana Pondok waktu itu begitu riuh dengan guyonan ala
pesantren . Para santri saling ejek, saling berkilah menganggap para santri
lainnya sebagai bagian tidak terpisahkan dari keluarga paling dekat. Merasa
dibuat seperti terlahir dari rahim yang sama. Haha. Ya.. Mereka bersiap-siap menyiapkan persiapan
sebaik mungkin untuk bersama menghadap sang maha Agung, sang maha pencipta. Bisingan
suara kendaraan yang cukup terdengar sampai dalam pondok pesantren Hasyim
Asy’ari menggetarkan hati ini yang siap mengawal calon-calon penerus bangsa
untuk menghadap kepadaNya.
Assalamu’alaikum warohmatullah, Assalamu’alaikum warahmatullah.
Terdengar lantunan salam dari salam imam sholat maghrib yang sesegera saya
jawab dengan bacaan yang sama. Hiruk pikuk jamaah terdengar saling membaca
istighfar, serasa memohon ampunan dari
Pencipta alam semesta atas segala dosa. Dari arah kanan kiri hamba-hamba saling
mengulurkan tangan untuk meminta segera diraih.
Tiba-tiba tepukan halus tangan mendarat dipundak saya. “kang, di timbali yai”kata seseorang yang belum
aku sempat melihat sosok wajahnya. “nggeh kang” reflek jawabku.
Tanpa berpikir panjang, lutut
ini segera saya gerakkan untuk menggeser badanku kebelakang seblum akhirnya
saya berdiri membelakangi para jamaah. Kaki ku buat setengah berlari dan tangan
aku genggamkan kuat-kuat. Jalan batu aku lewati. Sambil melangkah kuputar
kumpulan sel-sel syaraf yang ada di tengkorak kepalaku ini. Kupikir apa yang
terjadi sampai yai memanggilku.
Sampailah di ndalem
kiai. Ku dudukkan badan ini dan ku seret dengkul sambil mendekati
beliau. Kepalaku tertunduk dan aku siapkan diri ini untuk mendapatkan pituduh dari pak kiai.aku terus
menunggu. Lama, ku tak mendengar sedikitpun kata yang keluar dari mulut beliau
yang bersih dari perkataan tercela. Aku tetap sabar menunggu intruksi dari
beliau tanpa harus banyak tanya untuk apa saya di timbali.
Hari semakin malam. Akhirnya
beliau mulai berkata.”Nak Hasan, koe
ngerti gak knapa saya tetap melanjutkan pesantren ini?. Setelah wafatnya abah setahun yang lalu, beliau berpesan,
‘pesantren ini dulu saya dirikan untuk memperbaiki masyarakat sekitar. Dahulu
masyarakat sekitar merupakan masyarakat yang rusak akhlaknya, miskin hartanya,
pemalas karna didikan belanda yang mengajarkan kelakuan tak beradab. Saya
bangun pesantren ini tepat diantara pusat kriminalitas’. Singkat cerita ‘pesasntren
ini telah mendidik masyarakat, makna arti bermasyarakat, menjunjung ekonomi
masyarakat, dan menjadi pusat para pejuang tegaknya kemerdekan bangsa” kata
beliau sambail bercerita.
Aku hanya tertegun mendengar
dengan seksama tanpa bantahan dan pertanyaan. Pertanyaan belum saya ungkapkan
meski sudah terkumpul sesak dalam pikiranku. Khawatir suul adab terhadap beliau.
Semenjak Abah wafat setahun
yang lalu, memang yai sebagai putra sangat terpukul. Bagaimana tidak, Abah
Sholeh merupakan pendiri skaligus pejuang kemerdekaan pada era penjajahan.
Beliau yang dengan kerja keras menghimpun kekuatan untuk melawan penjajah
dengan basis pusat pesantren-pesantren. Termasuk pesantren Hasyim Asyari ini.
Sekarang sebagai satu-satunya putra beliau, Kiai Umamlah yang diberi wewenang
untuk melanjutkan dakwah pesantren selanjutnya. Kami, seperti saya dan
santri-santri lain yang lebih tua diminta beliau untuk membantu mengurusi
santri junior untuk menuntut ilmu di lembaga pendidikan tertua di Indonesia
ini.
Tidak mudah memang, mengelola lembaga tertua ini. Ditengah desakan dunia yang
semakin terglobalisasi ini. pendidikan modern semakin menekan lembaga-lembaga
tradisional seperti pesantren ini . Bukanlah hal baru kalau lembaga pendidikan
formal modern menyaingi pesantren. Sudah dari sejak datangnya belanda ke bumi
indonesia ini, belanda telah membentuk lembaga pendidikan sekolah formal untuk
menyaingi pesantren sebagai lembaga pendidikan asli negeri ini. Bagus memang,
tapi dibalik semua itu belanda juga berpikir untuk mencetak pegawai-pegawai
pribumi dengan gaji rendah melalui lembaga-lembaga tersebut.
Terus, apakah masyarakat tidak tertarik dengan lembaga baru tersebut?
Jelas tertarik. Lembaga pendidikan modern tersebut diciptakan dengan metode
yang menarik. Guru-guru berpakain rapih dan wangi. Murid bebas berpendapat dan
berkreasi. Tidak seperti pesantren yang identik dengan tradisionalitas,
kekumuhan, sarungan, bau apek dan lain sebagainya. Namun tidak sedikit pula
anak-anak pribumi yang tetap tidak beralih dari pendidikan tradisional ini.
Diantara mereka adalah anak-anak para santri yang terikat secara batin dengan
pesantren, atau orang orang yang medapatkan kemanfaatan langsung dari pesantren
atau mungkin anak-anak orang yang tidak mampu membayar biaya sekolah di lembaga
belanda yang mahal itu.
Yai sering menyampaikan bahwa pesantren adalah salah satu pembentuk watak
bangsa indonesia. Jauh sebelum muncul lembaga-lembaga baru seperti sekarang
ini, pesantren telah ada dengan metode pembelajaran penuh sehari semalam dalam
asrama. Santri tidak hanya di bimbing dalam hal berpikir saja, tapi juga di
arahkan untuk menjadi sosok manusia yang bermoral. Mendahulukan dzikir baru
kemudian fikir. Praktik sopan santun dan tawadluk disampaikan tidak hanya
dengan lisan, melainkan dengan praktik contoh secara langsung oleh para
pemimpinnya. Hal ini sangat penting dicontohkan oleh beliau para pengasuh
pondok pesantren. Kiai Umam misalnya. Beliau adalah sosok karismatik yang
sangat patut dicontoh. Beliau mengajarkan kejujuran, kesabaran, adab,
ketekunan, kegigihan hidup malah bukan dari banyak berkata-kata dalam kelas.
Namun dengan memberikan contoh langsung kepada kami sebagai santri.
Ditengah arus globalisai seperti zaman sekarang ini misalnya, pesantren
masih tetap berpegang teguh pada gasir perjuangannya. Pesantren-pesantren masih
banyak yang tetap menggunakan referensi dari buku-buku ulama kuno yang terbukti
kesholihannya. Bukan menggunakan referensi utama berupa tulisan-tulisan baru
buatan manusia-manusia abad sekarang.
Pantaslah yai selalu bilang bahwa pesantren lah yang mampu membendung
arus westernisasi dunia barat yang masuk ke dunia ketimuran. Ditengah mulai
berubahnya sistem pendididikan di indonesia akibat arus globalisasi. Pesantren
yang terbukti telah menjadi pendukung sejati berdirinya NKRI ini.
Sekarang sering kita melihat bahwa guru-guru dan murid di lembaga
pendidikan formal yang sudah senonoh dalam melakukan proses belajar mengajar.
Banyak muncul di TV kasus-kasus guru yang biadab dan murid yang bejad.
Lembaga-lembaga pendidikan sekarang banyak didominasi oleh pola pikir mengasah
otak tanpa menghiraukan akhlak. Pesantren yang mengedepankan moral lah yang masih
konsisten menjaga adab tatakrama dalam kehidupan.
Pesantren tetap mengedepankan keikhlasan dalam proses mencari ilmu.
Seorang kiai hampir tidak ada yang meminta bayaran kepada santri-santrinya.
Sang kiai hanya mengharapkan ridhoNya
dalam mendidik para santri-santrinya. Keikhlasan menjadi titik utama dalam
prinsip pendidikan pesantren. Pesantren tetap eksis menjadi lembaga pendidikan
yang dapat bertahan sejak pra republik hadir sampai saat ini.
Apakah pemerintah akan tega menggusur pesantren, saya kira pemerintah
yang bodoh manakala meninggalkan lembaga pendidikan ini. Pemerintah bisa
mengambil nilai-nilai pesantren untuk dipadukan dengan lembaga formal lainnya.
Sehingga potensi keilmuan yang dibalut spiritualitas dapat menjadi ruh lembaga
yang mencetak penerus bangsa.
“heh.. Ojo ngelamun” saut abah
umam. Serentak kaget saya, “ nggeh
bah”. “Koe sebagai santri seng wes senior, sudah saya anggap
sebagai anakku sendiri. Dan adek-adekmu bimbinglah. Kamu dan merekalah yang
akan meneruskan perjuangan bangsa menuju kejayaan islam dan bangsa Indonesia.
Jangan pernah satupun santri yang kau tinggalkan untuk kamu bimbing, meskipun
senakal apapun kelakuannya, sebandel apapun dia. Bagi abah, putra-putri
tersebut adalah mutiara yang belum bersinar saja lahirnya. Dahulukan dzikir
dari pada pikir. Meski katamu kamu mau melanjutkan ke jenjang pendidikan di
perguruan tinggi negeri umum, saya berpesan tetaplah mengaji, belajarlah kepada
para ulama’, jangan tinggalkan dzikir, sholat, sholawat. Seorang satri tidak
harus jadi kiai le.. tapi isilah perjuangan bangsa, meneruskan perjuangan ulama
dengan keahlianmu. Jika kamu nanti ahli dalam bidang pertanian, mengabdilah
kepada agama dan bangsamu dengan ilmu pertanian, jika nanti kamu ahli dalam
bidang politik, mengabdilah kepada agama dan bangsamu dengan menjadi politikus
yang arif, bijak sana, yang tahu jatidiri bangsa dan negara untuk
memperjuangkan agama dan bangsa.”
“nggeh bah”, sahutku sambil termenung. Memang saya berencana melanjutkan
kuliyah, karena itu sudah menjadi cita-citaku. Begitu berat rasanya saya nanti
akan terpisah dengan pewaris nabi ini. Rasanya saya ingin menangis.
“yang penting, jangan berniat kuliyah karna pekerjaan atau dunia, tapi
berniatlah karena Allah ta’ala, insyaallah dunia yang akan mengejar orang-orang
yang mencari ilmu”, kata abah sambil siap-siap seperti akan pergi. “yo wes, aku berangkat ke majlis dulu ya,
seng tenanan”. Kata abah sambil bergegas meninggalkan ku. “nggeh bah”.
Kaki saya seret mundur kebelakang,ku balikkan badan baru kemudian berdiri
dan meninggalkan ndalem. saya simpan pitutur
beliau dalam pikiranku, sambil melanjutkan tugasku sebagai abdi ndalem untuk membantu
abah mengajar nahwu shorof kepada para calon pemimpin perjuangan bangsa, para
santri nusantara.
Jepara, 15 juli 2015
Wasiat abah yai
4/
5
Oleh
Unknown