Rabu, 05 Agustus 2015

Wasiat abah yai



                “Ayo anak-anak, sebentar lagi jam 18.00, maghrib akan tiba, segera siap-siap, mandi, pakai baju yang rapih, sarung, kopyah, segera berangkat ke masjid An-Nur, kita sholat berjamaah”. Serentak terdengar “iya kang”.
Sore itu saya benar-benar semangat melihat anak-anakku, adik-adikku, yang sholih-sholih. Suasana Pondok waktu itu begitu riuh dengan guyonan ala pesantren . Para santri saling ejek, saling berkilah menganggap para santri lainnya sebagai bagian tidak terpisahkan dari keluarga paling dekat. Merasa dibuat seperti terlahir dari rahim yang sama. Haha. Ya..  Mereka bersiap-siap menyiapkan persiapan sebaik mungkin untuk bersama menghadap sang maha Agung, sang maha pencipta. Bisingan suara kendaraan yang cukup terdengar sampai dalam pondok pesantren Hasyim Asy’ari menggetarkan hati ini yang siap mengawal calon-calon penerus bangsa untuk menghadap kepadaNya.
                Assalamu’alaikum warohmatullah, Assalamu’alaikum warahmatullah. Terdengar lantunan salam dari salam imam sholat maghrib yang sesegera saya jawab dengan bacaan yang sama. Hiruk pikuk jamaah terdengar saling membaca istighfar,  serasa memohon ampunan dari Pencipta alam semesta atas segala dosa. Dari arah kanan kiri hamba-hamba saling mengulurkan tangan untuk meminta segera diraih.
Tiba-tiba tepukan halus tangan mendarat dipundak saya. “kang, di timbali yai”kata seseorang yang belum aku sempat melihat sosok wajahnya. “nggeh kang” reflek jawabku.
                Tanpa berpikir panjang, lutut ini segera saya gerakkan untuk menggeser badanku kebelakang seblum akhirnya saya berdiri membelakangi para jamaah. Kaki ku buat setengah berlari dan tangan aku genggamkan kuat-kuat. Jalan batu aku lewati. Sambil melangkah kuputar kumpulan sel-sel syaraf yang ada di tengkorak kepalaku ini. Kupikir apa yang terjadi sampai yai memanggilku.
                Sampailah di ndalem  kiai. Ku dudukkan badan ini dan ku seret dengkul sambil mendekati beliau. Kepalaku tertunduk dan aku siapkan diri ini untuk mendapatkan pituduh dari pak kiai.aku terus menunggu. Lama, ku tak mendengar sedikitpun kata yang keluar dari mulut beliau yang bersih dari perkataan tercela. Aku tetap sabar menunggu intruksi dari beliau tanpa harus banyak tanya untuk apa saya di timbali.
                Hari semakin malam. Akhirnya beliau mulai berkata.”Nak Hasan, koe ngerti gak knapa saya tetap melanjutkan pesantren ini?. Setelah wafatnya abah setahun yang lalu, beliau berpesan, ‘pesantren ini dulu saya dirikan untuk memperbaiki masyarakat sekitar. Dahulu masyarakat sekitar merupakan masyarakat yang rusak akhlaknya, miskin hartanya, pemalas karna didikan belanda yang mengajarkan kelakuan tak beradab. Saya bangun pesantren ini tepat diantara pusat kriminalitas’. Singkat cerita ‘pesasntren ini telah mendidik masyarakat, makna arti bermasyarakat, menjunjung ekonomi masyarakat, dan menjadi pusat para pejuang tegaknya kemerdekan bangsa” kata beliau sambail bercerita.
                Aku hanya tertegun mendengar dengan seksama tanpa bantahan dan pertanyaan. Pertanyaan belum saya ungkapkan meski sudah terkumpul sesak dalam pikiranku. Khawatir suul adab terhadap beliau.
Semenjak Abah wafat setahun yang lalu, memang yai sebagai putra sangat terpukul. Bagaimana tidak, Abah Sholeh merupakan pendiri skaligus pejuang kemerdekaan pada era penjajahan. Beliau yang dengan kerja keras menghimpun kekuatan untuk melawan penjajah dengan basis pusat pesantren-pesantren. Termasuk pesantren Hasyim Asyari ini. Sekarang sebagai satu-satunya putra beliau, Kiai Umamlah yang diberi wewenang untuk melanjutkan dakwah pesantren selanjutnya. Kami, seperti saya dan santri-santri lain yang lebih tua diminta beliau untuk membantu mengurusi santri junior untuk menuntut ilmu di lembaga pendidikan tertua di Indonesia ini.
Tidak mudah memang, mengelola lembaga tertua ini. Ditengah desakan dunia yang semakin terglobalisasi ini. pendidikan modern semakin menekan lembaga-lembaga tradisional seperti pesantren ini . Bukanlah hal baru kalau lembaga pendidikan formal modern menyaingi pesantren. Sudah dari sejak datangnya belanda ke bumi indonesia ini, belanda telah membentuk lembaga pendidikan sekolah formal untuk menyaingi pesantren sebagai lembaga pendidikan asli negeri ini. Bagus memang, tapi dibalik semua itu belanda juga berpikir untuk mencetak pegawai-pegawai pribumi dengan gaji rendah melalui lembaga-lembaga tersebut.
Terus, apakah masyarakat tidak tertarik dengan lembaga baru tersebut? Jelas tertarik. Lembaga pendidikan modern tersebut diciptakan dengan metode yang menarik. Guru-guru berpakain rapih dan wangi. Murid bebas berpendapat dan berkreasi. Tidak seperti pesantren yang identik dengan tradisionalitas, kekumuhan, sarungan, bau apek dan lain sebagainya. Namun tidak sedikit pula anak-anak pribumi yang tetap tidak beralih dari pendidikan tradisional ini. Diantara mereka adalah anak-anak para santri yang terikat secara batin dengan pesantren, atau orang orang yang medapatkan kemanfaatan langsung dari pesantren atau mungkin anak-anak orang yang tidak mampu membayar biaya sekolah di lembaga belanda yang mahal itu.
Yai sering menyampaikan bahwa pesantren adalah salah satu pembentuk watak bangsa indonesia. Jauh sebelum muncul lembaga-lembaga baru seperti sekarang ini, pesantren telah ada dengan metode pembelajaran penuh sehari semalam dalam asrama. Santri tidak hanya di bimbing dalam hal berpikir saja, tapi juga di arahkan untuk menjadi sosok manusia yang bermoral. Mendahulukan dzikir baru kemudian fikir. Praktik sopan santun dan tawadluk disampaikan tidak hanya dengan lisan, melainkan dengan praktik contoh secara langsung oleh para pemimpinnya. Hal ini sangat penting dicontohkan oleh beliau para pengasuh pondok pesantren. Kiai Umam misalnya. Beliau adalah sosok karismatik yang sangat patut dicontoh. Beliau mengajarkan kejujuran, kesabaran, adab, ketekunan, kegigihan hidup malah bukan dari banyak berkata-kata dalam kelas. Namun dengan memberikan contoh langsung kepada kami sebagai santri.
Ditengah arus globalisai seperti zaman sekarang ini misalnya, pesantren masih tetap berpegang teguh pada gasir perjuangannya. Pesantren-pesantren masih banyak yang tetap menggunakan referensi dari buku-buku ulama kuno yang terbukti kesholihannya. Bukan menggunakan referensi utama berupa tulisan-tulisan baru buatan manusia-manusia abad sekarang.
Pantaslah yai selalu bilang bahwa pesantren lah yang mampu membendung arus westernisasi dunia barat yang masuk ke dunia ketimuran. Ditengah mulai berubahnya sistem pendididikan di indonesia akibat arus globalisasi. Pesantren yang terbukti telah menjadi pendukung sejati berdirinya NKRI ini.
Sekarang sering kita melihat bahwa guru-guru dan murid di lembaga pendidikan formal yang sudah senonoh dalam melakukan proses belajar mengajar. Banyak muncul di TV kasus-kasus guru yang biadab dan murid yang bejad. Lembaga-lembaga pendidikan sekarang banyak didominasi oleh pola pikir mengasah otak tanpa menghiraukan akhlak. Pesantren yang mengedepankan moral lah yang masih konsisten menjaga adab tatakrama dalam kehidupan.
Pesantren tetap mengedepankan keikhlasan dalam proses mencari ilmu. Seorang kiai hampir tidak ada yang meminta bayaran kepada santri-santrinya. Sang  kiai hanya mengharapkan ridhoNya dalam mendidik para santri-santrinya. Keikhlasan menjadi titik utama dalam prinsip pendidikan pesantren. Pesantren tetap eksis menjadi lembaga pendidikan yang dapat bertahan sejak pra republik hadir sampai saat ini.
Apakah pemerintah akan tega menggusur pesantren, saya kira pemerintah yang bodoh manakala meninggalkan lembaga pendidikan ini. Pemerintah bisa mengambil nilai-nilai pesantren untuk dipadukan dengan lembaga formal lainnya. Sehingga potensi keilmuan yang dibalut spiritualitas dapat menjadi ruh lembaga yang mencetak penerus bangsa.
“heh.. Ojo ngelamun” saut abah umam. Serentak kaget saya, “ nggeh bah”. “Koe sebagai santri seng wes senior, sudah saya anggap sebagai anakku sendiri. Dan adek-adekmu bimbinglah. Kamu dan merekalah yang akan meneruskan perjuangan bangsa menuju kejayaan islam dan bangsa Indonesia. Jangan pernah satupun santri yang kau tinggalkan untuk kamu bimbing, meskipun senakal apapun kelakuannya, sebandel apapun dia. Bagi abah, putra-putri tersebut adalah mutiara yang belum bersinar saja lahirnya. Dahulukan dzikir dari pada pikir. Meski katamu kamu mau melanjutkan ke jenjang pendidikan di perguruan tinggi negeri umum, saya berpesan tetaplah mengaji, belajarlah kepada para ulama’, jangan tinggalkan dzikir, sholat, sholawat. Seorang satri tidak harus jadi kiai le.. tapi isilah perjuangan bangsa, meneruskan perjuangan ulama dengan keahlianmu. Jika kamu nanti ahli dalam bidang pertanian, mengabdilah kepada agama dan bangsamu dengan ilmu pertanian, jika nanti kamu ahli dalam bidang politik, mengabdilah kepada agama dan bangsamu dengan menjadi politikus yang arif, bijak sana, yang tahu jatidiri bangsa dan negara untuk memperjuangkan agama dan bangsa.”
“nggeh bah”, sahutku sambil termenung. Memang saya berencana melanjutkan kuliyah, karena itu sudah menjadi cita-citaku. Begitu berat rasanya saya nanti akan terpisah dengan pewaris nabi ini. Rasanya saya ingin menangis.
“yang penting, jangan berniat kuliyah karna pekerjaan atau dunia, tapi berniatlah karena Allah ta’ala, insyaallah dunia yang akan mengejar orang-orang yang mencari ilmu”, kata abah sambil siap-siap seperti akan pergi. “yo wes, aku berangkat ke majlis dulu ya, seng tenanan”. Kata abah sambil bergegas meninggalkan ku. “nggeh bah”.
Kaki saya seret mundur kebelakang,ku balikkan badan baru kemudian berdiri dan meninggalkan ndalem. saya simpan pitutur beliau dalam pikiranku, sambil melanjutkan tugasku sebagai abdi ndalem  untuk membantu abah mengajar nahwu shorof kepada para calon pemimpin perjuangan bangsa, para santri nusantara.

Hasan Bisri
Jepara, 15 juli 2015

Related Posts

Wasiat abah yai
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.