
Aku
berdosa. Sungguh berdosa besar. Meski aku gak ikut menjadi aktor dalam skenario
ini. Tapi aku tahu dan mengerti bahwa ini bukan perbuatan baik. bukankah orang
yang membiarkan maling beraksi juga bisa dikatakan maling.
Aku
orang lemah. Sunggu orang yang sangat lemah. Bukankah selemah-selamhnya iman
adalah orang yang gak mampu menolak kebatilan dengan tangan dan lisannya.
“Ya Allahhh”...”ya Allah.....”,
Ya Allah...”. aku menangis siang itu sendiri. Aku mundur menyendiri dalam kamar
mandi kantor. Tak mampu aku perlihatkan sikapku ini didepan kawan sejawat kerja
di pemerintahan. aku berjanji dalam hati suatu saat nanti akan menunjukkan sikap
ketidak setujuanku bukan dengan tangisan, tapi dengan lisan dan tindakan.
Karena hanya anak kecil saja yang menggunakan senjata tangisan untuk menolak ketidak
adilan.
“Tapi kapan?” tanyaku menderu
dalam hati. Tapi kapan aku bisa dengan terang membantah mereka. Untuk bicara
saja aku gak mampu. Rasa takut dan sungkan menyelimuti diriku ini. Padahal
rakyat secara terbuka telah mengangkatku menjadi wakilnya disini.
Aku
masih saja mendengar perkataan busuk orang-orang pejabat diluar sana. Transaksi
menjual negara terjadi lagi. Orang bersalah dibenarkan dan orang yang
benar-benar benar disalahkan. Kekuasaan dibeli beberapa orang dan rakyat
digadaikan. Aku lebih sering menghindar dan sembunyi dari pada tetap
menyaksikan kedhaliman berjamaah ini. Aku tak mau menjadi bagian dari mereka.
Tapi aku tahu, aku berkewajiban menolak itu. Aku adalah perwakilan masyarakat. “Tapi
kapan!!!!, tapi kapan aku bisa dengan berani membantah, menindak, dan
melaporkan mereka!!” tanyaku dalam hati. Aku masih saja tidak berani.
Aku
ingat setahun lalu, mana kala aku dipaksa oleh teman-teman dan para sahabat
serta masyarakat untuk mencalonkan diri menjadi wakil rakyat. Awalnya, aku gak menolak karena dalam diri
ini aku tahu, aku bukan lah orang yang benar. tapi aku gak punya alasan untuk
menolak permintaan dari warga masyarakat ditengah cerminan sikap anak kecil
yang sering sekali diperlihatkan oleh para wakil rakyatnya di dewan terhormat.
Memang aku tidak seperti mereka yang menggunakan kekuasaan dan harta untuk
kursi singgasana. aku benar-benar diangkat oleh rakyat yang haus akan figur
orang baik.
Aku
memang mememiliki kelebihan. Kelebihan yang tidak semua orang miliki. Aku
sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial di kampung. Sebagian hartaku aku
berikan untuk membantu anak-anak yatim sekitar rumahku. Setiap hari aku
mengajar anak-anak yang mengaji di musholla tepat sebelah rumahku. aku sering
dimintai bantuan orang-orang yang memerlukan bantuan. Kata istriku, aku memang
orang yang bisa dipercaya. Itu sebabnya aku menang telak dalam pemilihan DPR
awal tahun ini kemarin. Tanpa uang, dan tanpa kekuasaan. Segala puji bagi Allah
SWT.
Aku
berasal dari keluarga sederhana. Sebuah keluarga di kampung kecil dekat pantai
di pantai utara pulau Jawa. Aku anak pertama dari 10 bersaudara. Almarhum bapak
saya terkenal sebagai orang yang keras. Dulu aku mengibaratkan bapak seperti
geledek yang sedang menyambar membunuh syaraf-syaraf anaknya manakala sedang
tersulut amarah. Sebagai anak tertua, akulah yang menjadi sasaran keamarahan
bapak.
Didikan
orang pesisir mungkin memang selalu keras. Aku seperti dikungkung oleh bapak,
bagai dimasukkan kedalam sebuah karung gelap gulita. Beliau galaknya minta
ampun. Beliau tak segan-segan memukul anak-anaknya dengan gagang kayu apabila
kepergok kami tidak sholat. Tidak hanya itu, kami sering dimarah-marahi gak
jelas. Kami di awasi selalu dalam segala tindakan kami. Aku masih ingat dahulu
ketika masih berumur 8 tahun, aku dicubit bapak sampai memar gara-gara bapak
terganggu ocehanku sendiri. Waktu itu aku berlaga memerankan tokoh pelawak
Kirun yang aku idolakan dalam tivi. Memang aku tahu waktu itu bapak sedang
tidur kecapean dari kerja. Tapi kan dulu aku masih kecil gak tahu apa-apa. Aku
juga pernah di hajar tak ada ampun ketika umur 6 tahun, aku coret-coret tembok
putih rumah. padahal aku berimajinasi menggambar sungai indah tempat main
anak-anak kampung. Hampir setiap hari , dahulu aku seperti mendapatkan tekanan
berat dari almarhum bapakku sendiri. Aku memang seperti dikungkung dalam karung
dan digebukin saja. Karakter minder akhirnya menjadi sangat melekat dalam
diriku ini.
Aku
memang tipikal orang yang tidak banyak bicara. Sedikit sekali aku ngomong.
Takut salah mungkin. Semarah apapun bapak, aku gak akan berani membantahnya.
Meskipun dalam hati aku merasa tidak fair, karena tidak sepenuhnya aku yang salah.
Dalam
perjalan menuju kedewasaan aku mulai merasakan keanehan dalam diriku. Pernah
suatu kisah aku salah turun naik bus. Bukan salah sebenarnya, tapi itu karena
salahku sendiri. Waktu itu aku naik bus mini pertama kali dalam seumur hidupku.
Masa-masa pertama masuk kelas SMP. Jarak dari rumah ke sekolah lumayan jauh.
Kurang lebih sekitar 5 km. Jarak yang lumayan jauh bagi seorang anak seperti ku.
Dalam bus aku seharusnya bilang kepada kondektur berhenti di perempatan
sekolah, tapi aku gak berani ngomong sama kondekturnya. Lidahku seperti kaku
tak bisa digerakkan. Aku terus berpikir dan berpikir dalam hati. Hatiku
meronta-ronta meminta lidahku supaya berbicara. Sampai akhirnya aku tertekan
sendiri dalam bangku bus mini itu. Hatiku marah dan marah. Hatiku berteriak
kerasss sekali “KIRIIIIIIII........ KIRIIIII PAAKKKKKKKK!!!!!”. Tapi tak
seorangpun mendengarnya. Skalilagi lidah ini menciut tak berdaya, tak takut
dengan kemarahan hati kecilku. Akhirnya hati ini menangis menderu-deru melihat
kecundangan lidah. Mata menjadi korbannya. Mataku tiba-tiba mengeluarkan air
dan menetes kelantai dasar membasahi kaki salah seorangg ibu-ibu yang kebetulan
duduk disebelahku.
“kenapa nak?, tanya ibu itu
kepadaku. Aku sama sekali tidak menjawab pertanyaan baik beliau. Aku ingin
sekali menjawab pertanyaan beliau. Namun sesenggukan hidung ini menambah
sukarnya lidahku mengeluarkan kata-kata. Hatiku skali lagi memberontak tak bisa
dikendalikan. Kelihatannya hatiku semakin marah saja. Mataku semakin deras
mengalirkan air mata. Seakan menjadi korban ketidak singkronnya dua organ yang
lain itu.
“mau turun?”, tanya ibu itu skali
lagi. Aku mencoba memerintahkan lidah sekali lagi untuk menjawab pertanyaan
beliau dengan sepatah dua patah kata. Namun skali lagi dia tidak mau. Aku
berpikir apa yang bisa aku lakukan untuk menjawab pertanyaan ibu itu yang
semakin mendesak. Melihat kemarahan hati yang semakin menjadi-jati, aku
perintahkan kepala ini untuk mencari solusi. Akhirnya kepala bisa di ajak
kompromi. Kepala aku angguk-anggukan untuk memberikan kode kepada sang ibu.
“ow... baik ya.. jangan nangis”,
ucap sang ibu sambil mengusap mataku yang memerah terbanjiri air mata.
“pak.. kiri pak” teriak sang ibu.
“kiri... kiri...., kiri...
kiri!!” terdengar kondektur bus sedikit teriak memberikan kode kepada sopir
untuk memberhentikan Bus sejenak. Aku seakan seperti orang yang dibuang dari
bus kejurang.
Sebelum turun,
sang ibu sempat mengatakan hati-hati kepadaku. Sang ibu juga yang membayar jasa
angkutan itu untukku. Dalam hati aku ingin menolak kebaikan beliau, namun
sepertinya lidah ini perlu belajar banyak untuk sekedar mengucapkan terimakasih
kepada ibu itu.
Aku diturunkan
lebih jauh dari tempat yang seharusnya. Kurang lebih, lebih jauh satu kilo
meter dari tempat tujuan. Hati mengintruksikan kepadaku untuk berjalan saja
menuju sekolahan. Otakku juga sepakat dengan hati, sebagai hukuman pada diriku
yang tidak mampu mengendalikan lidahku ini. Toh aku juga sudah biasa berjalan
dirumah.
Selepas
kejadian itu aku sudah tidak berani naik bus lagi. Aku selalu berdalih belum
saatnya naik bus, selama lidahku masih belum
bisa dikendalikan. Tapi aku gak pernah menentukan waktu kapan aku akan
bisa mengendalikan lidahku ini. Jarak 5 kilo meter aku tempuh dengan jalan
kaki. Uang saku pemberian bapak yang seharusnya buat ongkos naik bus aku simpan
barangkali ada temen yang bisa aku bantu.
Tahun
1990, ketika aku duduk di kelas VIII SMP. Suasana lebaran menjadi hal yang
meriah bagi kebanyakan orang. Namun tidak bagiku. Hampir semua orang akan
datang kerumah ku. Termasuk saudara bapak yang dari jauh. Bapak bilang mereka
adalah sodara bapak yang tinggal di Depok. Orang yang sering bapak bilang
sebagai pamanku ini selalu membawa
rombongan banyak ketika datang berkunjung kerumahku. Kurang lebih ada 20an
orang.
Setiap
sekali beliau datang, aku pasti ngumpet. Aku tidak berani memunculkan diriku
ini dihadapan mereka. Kendati bapak selalu marah padaku atas sikap ini, tapi
masa bodoh saja. Aku merasa lidahku ini masih belum siap untuk berbicara dengan
beliau-beliau, apalagi bahasa mereka berbeda. Mereka pakai bahasa seperti yang
ada ditivi, padahal dulu aku pernah dimarahin bapak ketika aku ngoceh sendiri
menirukan gaya orang ngomong ditivi.
Sebelum mereka
datang sampai mengucapkan salam masuk kerumah, saat itu juga aku melompat
jendela kamarku dan meninggalkan rumah begitu saja. Aku berpikir supaya bapak
tidak menemukanku di rumah dan aku gak akan kena marah. Jika nantu aku ditanya
tadi kemana, aku tinggal jawab saja dari rumah mbah untuk halal bihalal.
Tahun
1993, ketika aku baru masuk tingkat SMA, aku juga masih ingat melekat kejadian
kepecundanganku. Waktu itu aku sendiri dikelas. Tidak ada siapa-siapa memang.
Aku berada sendiri dikelas bersama temanku laki-laki seorang. Aku duduk
ditempat dudukku sendiri, tidak beranjak dari kursi kesayanganku didepan.
Temanku yang bernama Jojo ini tidak tahu apa yang dilakukan di barisan bangku
belakang. Suasana sepi kelas yang diisi hanya berdua, menunjukkan bahwa waktu
itu masih dalam jam istirahat.
Tiba-tiba
ada sekumpulan orang masuk begitu saja kedalam kelas. Dari wajah-wajahnya
terlihat asing sekali bagiku, karena aku memang jarang sekali main ke kelas
lain. Dia ternyata tidak mendatangiku, tapi lanjut begitu saja berjalan ke
belakangku.
“PLAKKKKK...
PLAAAKKK....”Terdengar suara kulit bertemu kulit dari depan. Aku terkagetkan,
tapi aku gak punya nyali untuk melihat apa yang terjadi. Kali ini kepalaku yang
tak bisa dikendalikan. Dia tak mau diajak untuk menoleh kebelakang.
“BROOKK....., BANG....... BRUKK”,
terdengar seperti suara tinjuan yang melayang keperut. Suara seperti orang
jatuh tersungkur terdengar begitu keras dari telingaku. Aku kira hanya telinga
ini saja yang masih mau diajak kompromi.
Hatiku marah..
marahh besar. Dia meronta-ronta seakan menghukum diri ini yang tak bisa diajak
kompromi. Hatiku teriak keraaasss.. keras sekali. Kalau dia bisa bicara, yang
paling pertama dia marahi adalah diriku ini, bukan segerombolan orang yang
datang tadi. Sesaat kemudian mata ini mulai bereaksi, air mata seperti mau
menghujam sudah tidak betah lagi berada dalam diriku ini. Aku tahan
sekuat-kuatnya, aku tak ingin air mata ini jatuh sia-sia.
Sesaat
kemudian, aku lihat orang-orang ini keluar meninggalkan aku berdua. Dalam
penglihatan yang kabur aku melihat mereka merasa puas dengan apa yang mereka
lakukan.
Otakku mulai
berjalan, dia menganalisis mengapa si Jojo sampai di hajar sama mereka. Aku
pernah dengar Jojo pernah punya hutang dengan anak kelas lain. Mungkin ini yang
menjadikan Jojo sampai dihakimi mereka karena tidak mampu bayar hutang,
pikirku.
tak terasa,
air mata sudah melewati rambut halus mata. Tubuh seakan mulai tidak bisa
dikendalikan, seakan begitu marah dengan kepala, kaki, tangan, lidah yang tidak
tergerak melihat kejadian itu. Air mata pergi meninggalkan mata begitu saja,
jatuh tak berguna kedasar lantai. Hidung mulai membuat tubuhku sesenggukan. Air
ludah mulai keluar.
Tinggal hati
saja yang masih baik. hatiku mengajakku untuk membantu dan menghalangi
orang-orang itu menghajar Jojo. Begitu baiknya hati ini, pikirku. Tapi apa daya
seluruh badanku terasa kaku membekku. Aku hanya terdiam saja ditempat duduk
kursiku, tak beranjak sedikitpun dari tempat. Hanya hati ini saja yang
teriak-teriak memarahi orang-orang itu dan tubuh mungil ku ini. Padahal otakku
juga tidak menginstruksikan untuk bergerak melawan orang-orang itu.
Tubuh telah
bisa aku gerakkan. Otakku mengintruksikan tubuhku untuk keluar kelas menuju
toilet sekolahan. Aku memarahi tubuhku dalam kamar mandi kecil yang aku kunci
rapat-rapat. Aku biarkan air mata jatuh semakin deras. Aku memukili kaki,
tangan, kepala ku ini yang sedari tadi tak mau mengikuti intruksi hati. Sekali
lagi aku menjadi pecundang. Aku basuh wajah tangan kaki dengan air wudhu,
semoga mereka nurut dan berani, serta bisa kompromi. Hatiku berucap bahwa suatu
saat nanti aku akan melatih diriku ini menjadi berani dan tidak lagi menjadi
pecundang.
1994, aku
telah duduk di bangku akhir level SMA. Pernah suatu ketika aku menjatuhkan
Laptop temanku, Wida. Wida memang orang yang aku kagumi dari kelas satu. Wataknya
yang baik, berparas menawan sungguh menarik hati ini untuk segera menyatakan
cinta pada nya.
Diwaktu siang,
tidak sengaja aku jatuhkan Laptop Wida. Aku berusaha mengambil buku disebelah
Laptop Wida, namun Laptop tersenggol dan terjatuh kelantai. Tidak ada seorang
pun kala itu. Aku bereskan laptop Wida dan mencoba mengecek terjadi kerusakan
atau tidaknya. Aku coba menekan tombol power yang tepat disebelah keyboard. Aku
gak mampu menghidupkan kembali laptop itu. Kegelisahan mulai muncul. Hatiku
semakin was-was dengan apa yang telah aku lakukan. Sekarang giliran keringat
yang tak bisa dikendalikan. Air keringat membasahi seluruh tubuhku, seakan
marah besar dengan tubuhku. Pikiran terasa panas membara, tak bisa membuat otak
pikiran jernih.
Waktu
menunjukkan pukul 10.00, suara bel tanda masuk kembali dari jam istirahat telah
berbunyi. Aku semakin gelisah tiada tara. Keringat semakin marah dan tidak
betah bersemayam dalam tubuhku ini. Sekan memengaruhi otakku saja, pikirku juga
tak bisa dikendalikan. Dia mengajakku merapihkan Laptop seperti sedia kala dan
mengajak tubuhku keluar menuju kamar mandi. Hatiku mencoba mencegah semua organ
tubuhku ini untuk bersedia mengikuti otak. Tapi apa daya, sepertinya aku belum
siap untuk mengendalikan semuanya. Dengan mudahnya kaki ini mau mengikuti
perintah otak tolol ku ini. Tangan juga, seperti susah sekali dikendalikan oleh
sebongkah daging kecil dalam dada ini. Aku membiarkan sekali lagi air mata
marah. Dia keluar sebegitu banyak dibanding biasanya. Hatiku semakin marah
dengan semuanya. Mulai saat itu, aku berjanji tidak akan sampai mendekati Wida
sekali lagi. Semoga hanya doa hati saja yang selalu menyelimuti gadis yang aku
kagumi itu, karna hanya hati saja yang layak berdoa untuknya.
Sekali lagi
aku merasa belum siap untuk mengendalikan semua organ tubuhku, hanya hati saja
yang bisa jernih sejernih air telaga yang tak berdosa. Tapi sampai kapan?
Hasan Bisri - Cirebon, 30 Juli 2015
Sampai kapan?
4/
5
Oleh
Unknown