DETEKSI PENYAKIT TERBAWA BENIH MENGGUNAKAN METODE POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)
Oleh
:
Hasan
Bisri
A34120037
Asisten
Praktikum :
Lina
Fadliatul jannah A34110012
Ulfah
Hafidzah A34110080
Dosen
:
Dr.Giyanto,
M.si
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Benih merupakan struktur perbanyakan yang sangat penting
bagi tanaman. Hampir semua media perbanyakan tanaman didunia modern sekarang
ini menggunakan benih. Sehingga permintaan benih bermutu tinggi menjadi semakin
meningkat.
Benih bermutu merupakan perpaduan dari tiga aspek, yaitu
mutu fisik, genetik dan fisiologis. Benih bermutu juga merupakan benih yang
terbebas dari patogen terbawa benih. Sehingga perlu diketahui mekanisme cara pendeteksi
dan identifikasi patogen terbawa benih (Sudrajat 2009).
Polymerase chain
reaction
(PCR) digunakan sebagai metode uji keberadaan suatu patogen dengan identitas
yang spesifik dengan basis asam nukleat patogen. Asam nukled yang berupa DNA
atau RNA akan di gandakan segmentasinya sehingga akan terbentuk milyaran utas.
Karakteristik fisik asam nukleat akan memberikan informasi pemilik kode genetik
tersebut. Sehingga akan dengan tepat mendeteksi patogen yang sedang menginfeksi
benih tersebut.
Tujuan
Praktikum bertujuan untuk mempelajari teknik pengujian
patogen terbawa benih menggunakan metode
Polymerase Chain Reaction (PCR)
BAHAN DAN METODE
Bahan
dan Alat.
Bahan-bahan dan alat yang digunakan adalah DNA template,
Primer, Enzime, mikrotiter, pipet mokro, alat elektroforesis, gel agarose 1%,
dan alat PCR.
Metode
DNA di inokulasi dari organisme
target. Setelah itu DNA di masukkan kedalam mikrotiter bersamaan dengan
enzim-enzim, peptida, primer yang dibutuhkan. Kemudian mikroyiter dimasukkan
kedalam mesin PCR. Dalam mesin PCR akan terjadi siklus penggandaan segmen DNA
target. Dimulai dari denaturasi DNA templat, annealing; extension, dan pemantapan (postextension).
Fragmen
DNA hasil amplifikasi PCR dielektroforesis pada gel agarose 1%, penyangga untuk
elektroforesis digunakan penyangga TAE 1% yang mengandung 40 mM sodium EDTA.
Elektroforesis dilakukan pada 100 volt selama 1 jam Selanjutnya dilihat dengan
transilluminator UV.
Proses ini menggunakan alat
elektroforesis. Alat ini akan mengalirkan arus listrik sehingga fragmen DNA
akan mengalir dari arus positif menuju negatif. Fragmen DNA terkecil akan
berpindah paling jauh dibandingkan fragmen yang berukuran besar. Identitas
setiap DNA organisme yang sudah diketahui sebelumnya akan dicocokkan dengan hasil
pembacaan alat elektroforesis.
PEMBAHASAN
Prinsip dalam
PCR
Komponen-
komponen yang diperlukan pada proses PCR adalah templat DNA; sepasang primer,
yaitu suatu oligonukleotida pendek yang mempunyai urutan nukleotida yang
komplementer dengan urutan nukleotida DNA templat; dNTPs (Deoxynucleotide
triphosphates); buffer PCR; magnesium klorida (MgCl2)
dan enzim
polimerase DNA. Proses PCR melibatkan beberapa tahap yaitu: (1) pra-denaturasi
DNA templat; (2) denaturasi DNA templat; (3) penempelan primer pada templat (annealing);
(4) pemanjangan primer (extension) dan (5) pemantapan (postextension).
Tahap (2) sampai dengan (4) merupakan tahapan berulang (siklus),
di mana pada
setiap siklus terjadi duplikasi jumlah DNA.
PCR
adalah suatu teknik yang melibatkan beberapa tahap yang berulang (siklus) dan
pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah target DNA untai ganda. Untai ganda
DNA templat (unamplified DNA) dipisahkan dengan denaturasi termal dan
kemudian didinginkan hingga mencapai suatu suhu tertentu untuk memberi waktu
pada primer menempel (anneal primers) pada daerah tertentu dari target
DNA. Polimerase DNA digunakan untuk memperpanjang primer (extend primers)
dengan adanya dNTPs (dATP, dCTP, dGTP dan dTTP) dan buffer yang sesuai. Umumnya
keadaan ini dilakukan antara 20 – 40 siklus. Target DNA yang diinginkan (short
”target” product) akan meningkat secara eksponensial setelah siklus keempat
dan DNA non-target (long product) akan meningkat secara linier seperti
tampak pada bagan di atas (Newton et al
1994).
Jumlah
kopi fragmen DNA target (amplicon) yang dihasilkan pada akhir siklus PCR dapat
dihitung secara teoritis menurut rumus: Y = (2n – 2n)X, dengan Y : jumlah
amplicon, n : jumlah siklus, dan X : jumlah molekul DNA templat semula. Jika X
= 1 dan jumlah siklus yang digunakan adalah 30, maka jumlah amplicon yang
diperoleh pada akhir proses PCR adalah 1.074 x 109. Dari fenomena ini dapat
terlihat bahwa dengan menggunakan teknik PCR dimungkinkan untuk mendapatkan
fragmen DNA yang diinginkan (amplicon) secara eksponensial dalam waktu relatif
singkat.
Umumnya
jumlah siklus yang digunakan pada proses PCR adalah 30 siklus. Penggunaan
jumlah siklus lebih dari 30 siklus tidak akan meningkatkan jumlah amplicon
secara bermakna dan memungkinkan peningkatan jumlah produk yang non-target. Perlu
diingat bahwa di dalam proses PCR effisiensi amplifikasi tidak terjadi 100 %,
hal ini disebabkan oleh target templat terlampau banyak, jumlah polimerase DNA
terbatas dan kemungkinan terjadinya reannealing untai target.
Unsur PCR
Untuk
melakukan proses PCR diperlukan komponen-komponen seperti yang telah disebutkan
di atas. Pada bagian ini akan dijelaskan secara rinci kegunaan dari
masing-masing komponen tersebut.
1. Templat DNA
Fungsi
DNA templat di dalam proses PCR adalah sebagai cetakan untuk pembentukan
molekul DNA baru yang sama. Templat DNA ini dapat berupa DNA kromosom, DNA
plasmid ataupun fragmen DNA apapun asal di dalam DNA templat tersebut
mengandung fragmen DNA target yang dituju. Penyiapan DNA templat untuk proses
PCR dapat dilakukan dengan menggunakan metode lisis sel ataupun dengan cara
melakukan isolasi DNA kromosom atau DNA plasmid dengan menggunakan metode
standar yang ada. Pemilihan metode yang digunakan di dalam penyiapan DNA
templat tergantung dari tujuan eksperimen. Pembuatan DNA templat dengan
menggunakan metode lisis dapat digunakan secara umum, dan metode ini merupakan
cara yang cepat dan sederhana untuk pendedahan DNA kromosom ataupun DNA
plasmid. Prinsip metode lisis adalah perusakan dinding sel tanpa harus merusak
DNA yang diinginkan. Oleh karena itu perusakan dinding sel umumnya dilakukan
dengan cara memecahkan dinding sel menggunakan buffer lisis. Komposisi buffer
lisis yang digunakan tergantung dari jenis sampel. Beberapa contoh buffer lisis
yang biasa digunakan mempunyai komposisi sebagai berikut: 5 mM Tris-Cl pH8,5;
0,1 mM EDTA pH 8,5; 0,5 % Tween-20 dan 100 ug/mL Proteinase-K (ditambahkan
dalam keadaan segar). Buffer lisis ini umumnya digunakan untuk jenis sampel
yang berasal dari biakan, sel-sel epitel dan sel akar rambut.
2. Primer
Keberhasilan
suatu proses PCR sangat tergantung dari primer yang digunakan. Di dalam proses
PCR, primer berfungsi sebagai pembatas fragmen DNA target yang akan
diamplifikasi dan sekaligus menyediakan gugus hidroksi (OH) pada ujung 3’ yang
diperlukan untuk proses eksistensi DNA. Perancangan primer dapat dilakukan
berdasarkan urutan DNA yang telah diketahui ataupun dari urutan protein yang
dituju. Data urutan DNA atau protein bisa didapatkan dari database GenBank.
Apabila urutan DNA maupun urutan protein yang dituju belum diketahui maka
perancangan primer dapat didasarkan pada hasil analisis homologi dari urutan
DNA atau protein yang telah diketahui mempunyai hubungan kekerabatan yang
terdekat.
Dalam
melakukan perancangan primer harus dipenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
a. Panjang primer
Di
dalam merancang primer perlu diperhatikan panjang primer yang akan
dipilih. Umumnya
panjang primer berkisar antara 18 – 30 basa. Primer dengan panjang kurang dari
18 basa akan menjadikan spesifisitas primer rendah. Untuk ukuran primer yang
pendek kemungkinan terjadinya mispriming (penempelan primer di tempat
lain yang tidak diinginkan) tinggi, ini akan menyebabkan berkurangnya
spesifisitas dari primer tersebut yang nantinya akan berpengaruh pada
efektifitas dan efisiensi proses PCR. Sedangkan untuk panjang primer lebih dari
30 basa tidak akan meningkatkan spesifisitas primer secara bermakna dan ini
akan menyebabkan lebih mahal.
b. Komposisi primer.
Dalam
merancang suatu primer perlu diperhatikan komposisinya. Rentetan
nukleotida yang
sama perlu dihindari, hal ini dapat menurunkan spesifisitas primer yang dapat
memungkinkan terjadinya mispriming di tempat lain. Kandungan (G+C)) (%
jumlah G dan C) sebaiknya sama atau lebih besar dari kandungan (G+C) DNA
target. Sebab primer dengan % (G+C) rendah diperkirakan tidak akan mampu
berkompetisi untuk menempel secara efektif pada tempat yang dituju dengan
demikian akan menurunkan efisiensi proses PCR. Selain itu, urutan nukleotitda pada
ujung 3’ sebaiknya G atau C. Nukleotida A atau T lebih toleran terhadap mismatch
dari pada G atau C, dengan demikian akan dapat menurunkan spesifisitas
primer.
c. Melting temperature (Tm)
Melting
temperatur (Tm)
adalah temperatur di mana 50 % untai ganda DNA terpisah. Pemilihan Tm suatu
primer sangat penting karena Tm primer akan berpengaruh sekali di dalam
pemilihan suhu annealing proses PCR. Tm berkaitan dengan komposisi
primer dan panjang primer. Secara teoritis Tm primer dapat dihitung dengan
menggunakan rumus [2(A+T) + 4(C+G)]. Sebaiknya Tm primer berkisar antara 50 –
65 oC.
d. Interaksi primer-prime
Interaksi
primer-primer seperti self-homology dan cross-homology harus dihindari.
Demikian juga dengan terjadinya mispriming pada daerah lain yang tidak
dikehendaki, ini semua dapat menyebabkan spesifisitas primer menjadi rendah dan
di samping itu konsentrasi primer yang digunakan menjadi berkurang selama
proses karena terjadinya mispriming. Keadaan ini akan berpengaruh pada
efisiensi proses PCR.
3. dNTPs (deoxynucleotide triphosphates)
dNTPs
merupakan suatu campuran yang terdiri atas dATP (deoksiadenosin
trifosfat), dTTP
(deoksitimidin trifosfat) , dCTP (deoksisitidin trifosfat) dan dGTP
(deoksiguanosin trifosfat). Dalam proses PCR dNTPs bertindak sebagai building
block DNA yang diperlukan dalam proses ekstensi DNA. dNTP akan menempel
pada gugus –OH pada ujung 3’ dari primer membentuk untai baru yang komplementer
dengan untai DNA templat. Konsentrasi optimal dNTPs untuk proses PCR harus
ditentukan.
4. Buffer PCR dan MgCl2
Reaksi
PCR hanya akan berlangsung pada kondisi pH tertentu. Oleh karena itu untuk
melakukan proses PCR diperlukan buffer PCR. Fungsi buffer di sini adalah untuk
menjamin pH medium. Selain buffer PCR diperlukan juga adanya ion Mg2+, ion
tersebut berasal dari berasal MgCl2. MgCl2 bertindak sebagai kofaktor yang
berfungsi menstimulasi aktivitas DNA polimerase. Dengan adanya MgCl2 ini akan
meningkatkan interaksi primer dengan templat yang membentuk komplek larut
dengan dNTP (senyawa antara). Dalam proses PCR konsentrasi MgCl2 berpengaruh
pada spesifisitas dan perolehan proses. Umumnya buffer PCR sudah mengandung
senyawa MgCl2 yang diperlukan. Tetapi disarankan sebaiknya antara MgCl2 dan
buffer PCR dipisahkan supaya dapat dengan mudah dilakukan variasi konsentrasi
MgCl2 sesuai yang diperlukan.
5. Enzim Polimerase DNA
Enzim
polimerase DNA berfungsi sebagai katalisis untuk reaksi polimerisasi DNA. Pada
proses PCR enzim ini diperlukan untuk tahap ekstensi DNA. Enzim polimerase DNA
yang digunakan untuk proses PCR diisolasi dari bakteri termofilik atau
hipertermofilik oleh karena itu enzim ini bersifat termostabil
sampai
temperatur 95 oC. Aktivitas polimerase DNA bergantung dari jenisnya dan dari
mana bakteri tersebut diisolasi . Sebagai contoh adalah enzim Pfu polimerase
(diisolasi dari bakteri Pyrococcus furiosus) mempunyai aktivitasspesifik
10x lebih kuat dibandingkan aktivitas spesifik enzim Taq polimerase (diisolasi
dari bakteri Thermus aquaticus). Penggunaan jenis polimerase DNA berkaitan
erat dengan buffer PCR yang dipakai.
Dengan
menggunakan teknik PCR, panjang fragmen DNA yang dapat diamplifikasi mencapai
35 kilo basa. Amplifikasi fragmen DNA pendek (kurang dari tiga kilo basa)
relatif lebih mudah dilakukan. Untuk mengamplifikasi fragmen DNA panjang (lebih
besar dari tiga kilo basa) memerlukan beberapa kondisi khusus, di antaranya
adalah diperlukan polimerase DNA dengan aktivitas yang kuat dan juga buffer PCR
dengan pH dan kapasitas tinggi (High-salt buffer).
Fragmen
DNA hasil amplifikasi PCR dielektroforesis pada gel agarose 1%, penyangga untuk
elektroforesis digunakan penyangga TAE 1% yang mengandung 40 mM sodium EDTA.
Elektroforesis dilakukan pada 100 volt selama 1 jam Selanjutnya dilihat dengan
transilluminator UV
SIMPULAN
Teknik
PCR dapat digunakan sebagai metode akurat untuk mendeteksi patogen benih.
Teknik ini menggunakan basik analisis asam nukleat suatu organisme. Kita tahu
bahwa setiap organisme memiliki kode asam nukleat (DNA/RNA) yang spesifik. Oleh
karena deteksi dan identifikasi penyakit benih menggunakan metode ini sangat
spesifik pula.
DAFTAR PUSTAKA
Bruce B.1997. Genome Analysis, a
laboratory manual. vol 1 (Analyzing DNA). USA: Cold Spring Harbor
Laboratory Press.
Innis MA. 1990. PCR Protocols a Guide
to Methods and Applications. California: Academic Press, Inc..
Newton CR, Graham A. 1994. PCR. UK:
Bios Scientific Publisher. 2 9 Prinsip Umum dan Pelaksanaan Polymerase Chain
Reaction (PCR)
Sambrook JEF, Fritsch, T, Maniatis.
1989. Molecular Cloning. USA: Cold Spring Harbor Laboratory Press. Sudrajat
DJ, Nurhasybi.2009.Pengembangan metode pengujian dan standar mutu benih dan
bibit tanaman hutan.Bogor (ID):Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor.
Watson JD, M. Gilman, Witkowski J,
Zohler M. 1992. Recombinant DNA. USA: Scientific American Books.
deteksi penyakit benih dengan PCR
4/
5
Oleh
Unknown