Jumat, 21 Agustus 2015

deteksi penyakit benih dengan PCR



DETEKSI PENYAKIT TERBAWA BENIH MENGGUNAKAN METODE POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)


Oleh :
Hasan Bisri
A34120037

Asisten Praktikum :
Lina Fadliatul jannah A34110012
Ulfah Hafidzah A34110080



Dosen :
Dr.Giyanto, M.si





DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PENDAHULUAN

Latar Belakang                                                
            Benih merupakan struktur perbanyakan yang sangat penting bagi tanaman. Hampir semua media perbanyakan tanaman didunia modern sekarang ini menggunakan benih. Sehingga permintaan benih bermutu tinggi menjadi semakin meningkat.
            Benih bermutu merupakan perpaduan dari tiga aspek, yaitu mutu fisik, genetik dan fisiologis. Benih bermutu juga merupakan benih yang terbebas dari patogen terbawa benih. Sehingga perlu diketahui mekanisme cara pendeteksi dan identifikasi patogen terbawa benih (Sudrajat 2009).
Polymerase chain reaction (PCR) digunakan sebagai metode uji keberadaan suatu patogen dengan identitas yang spesifik dengan basis asam nukleat patogen. Asam nukled yang berupa DNA atau RNA akan di gandakan segmentasinya sehingga akan terbentuk milyaran utas. Karakteristik fisik asam nukleat akan memberikan informasi pemilik kode genetik tersebut. Sehingga akan dengan tepat mendeteksi patogen yang sedang menginfeksi benih tersebut.
           
Tujuan
            Praktikum bertujuan untuk mempelajari teknik pengujian patogen  terbawa benih menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR)
BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat.
            Bahan-bahan dan alat yang digunakan adalah DNA template, Primer, Enzime, mikrotiter, pipet mokro, alat elektroforesis, gel agarose 1%, dan alat PCR.

Metode
            DNA di inokulasi dari organisme target. Setelah itu DNA di masukkan kedalam mikrotiter bersamaan dengan enzim-enzim, peptida, primer yang dibutuhkan. Kemudian mikroyiter dimasukkan kedalam mesin PCR. Dalam mesin PCR akan terjadi siklus penggandaan segmen DNA target. Dimulai dari denaturasi DNA templat, annealing; extension, dan pemantapan (postextension).
Fragmen DNA hasil amplifikasi PCR dielektroforesis pada gel agarose 1%, penyangga untuk elektroforesis digunakan penyangga TAE 1% yang mengandung 40 mM sodium EDTA. Elektroforesis dilakukan pada 100 volt selama 1 jam Selanjutnya dilihat dengan transilluminator UV.
Proses ini menggunakan alat elektroforesis. Alat ini akan mengalirkan arus listrik sehingga fragmen DNA akan mengalir dari arus positif menuju negatif. Fragmen DNA terkecil akan berpindah paling jauh dibandingkan fragmen yang berukuran besar. Identitas setiap DNA organisme yang sudah diketahui sebelumnya akan dicocokkan dengan hasil pembacaan alat elektroforesis.



           


PEMBAHASAN

Prinsip dalam PCR

Komponen- komponen yang diperlukan pada proses PCR adalah templat DNA; sepasang primer, yaitu suatu oligonukleotida pendek yang mempunyai urutan nukleotida yang komplementer dengan urutan nukleotida DNA templat; dNTPs (Deoxynucleotide triphosphates); buffer PCR; magnesium klorida (MgCl2)
dan enzim polimerase DNA. Proses PCR melibatkan beberapa tahap yaitu: (1) pra-denaturasi DNA templat; (2) denaturasi DNA templat; (3) penempelan primer pada templat (annealing); (4) pemanjangan primer (extension) dan (5) pemantapan (postextension). Tahap (2) sampai dengan (4) merupakan tahapan berulang (siklus),
di mana pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah DNA.
PCR adalah suatu teknik yang melibatkan beberapa tahap yang berulang (siklus) dan pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah target DNA untai ganda. Untai ganda DNA templat (unamplified DNA) dipisahkan dengan denaturasi termal dan kemudian didinginkan hingga mencapai suatu suhu tertentu untuk memberi waktu pada primer menempel (anneal primers) pada daerah tertentu dari target DNA. Polimerase DNA digunakan untuk memperpanjang primer (extend primers) dengan adanya dNTPs (dATP, dCTP, dGTP dan dTTP) dan buffer yang sesuai. Umumnya keadaan ini dilakukan antara 20 – 40 siklus. Target DNA yang diinginkan (short ”target” product) akan meningkat secara eksponensial setelah siklus keempat dan DNA non-target (long product) akan meningkat secara linier seperti tampak pada bagan di atas (Newton et al 1994).
Jumlah kopi fragmen DNA target (amplicon) yang dihasilkan pada akhir siklus PCR dapat dihitung secara teoritis menurut rumus: Y = (2n – 2n)X, dengan Y : jumlah amplicon, n : jumlah siklus, dan X : jumlah molekul DNA templat semula. Jika X = 1 dan jumlah siklus yang digunakan adalah 30, maka jumlah amplicon yang diperoleh pada akhir proses PCR adalah 1.074 x 109. Dari fenomena ini dapat terlihat bahwa dengan menggunakan teknik PCR dimungkinkan untuk mendapatkan fragmen DNA yang diinginkan (amplicon) secara eksponensial dalam waktu relatif singkat.
Umumnya jumlah siklus yang digunakan pada proses PCR adalah 30 siklus. Penggunaan jumlah siklus lebih dari 30 siklus tidak akan meningkatkan jumlah amplicon secara bermakna dan memungkinkan peningkatan jumlah produk yang non-target. Perlu diingat bahwa di dalam proses PCR effisiensi amplifikasi tidak terjadi 100 %, hal ini disebabkan oleh target templat terlampau banyak, jumlah polimerase DNA terbatas dan kemungkinan terjadinya reannealing untai target.

Unsur PCR

Untuk melakukan proses PCR diperlukan komponen-komponen seperti yang telah disebutkan di atas. Pada bagian ini akan dijelaskan secara rinci kegunaan dari masing-masing komponen tersebut.
1. Templat DNA
Fungsi DNA templat di dalam proses PCR adalah sebagai cetakan untuk pembentukan molekul DNA baru yang sama. Templat DNA ini dapat berupa DNA kromosom, DNA plasmid ataupun fragmen DNA apapun asal di dalam DNA templat tersebut mengandung fragmen DNA target yang dituju. Penyiapan DNA templat untuk proses PCR dapat dilakukan dengan menggunakan metode lisis sel ataupun dengan cara melakukan isolasi DNA kromosom atau DNA plasmid dengan menggunakan metode standar yang ada. Pemilihan metode yang digunakan di dalam penyiapan DNA templat tergantung dari tujuan eksperimen. Pembuatan DNA templat dengan menggunakan metode lisis dapat digunakan secara umum, dan metode ini merupakan cara yang cepat dan sederhana untuk pendedahan DNA kromosom ataupun DNA plasmid. Prinsip metode lisis adalah perusakan dinding sel tanpa harus merusak DNA yang diinginkan. Oleh karena itu perusakan dinding sel umumnya dilakukan dengan cara memecahkan dinding sel menggunakan buffer lisis. Komposisi buffer lisis yang digunakan tergantung dari jenis sampel. Beberapa contoh buffer lisis yang biasa digunakan mempunyai komposisi sebagai berikut: 5 mM Tris-Cl pH8,5; 0,1 mM EDTA pH 8,5; 0,5 % Tween-20 dan 100 ug/mL Proteinase-K (ditambahkan dalam keadaan segar). Buffer lisis ini umumnya digunakan untuk jenis sampel yang berasal dari biakan, sel-sel epitel dan sel akar rambut.

2. Primer
Keberhasilan suatu proses PCR sangat tergantung dari primer yang digunakan. Di dalam proses PCR, primer berfungsi sebagai pembatas fragmen DNA target yang akan diamplifikasi dan sekaligus menyediakan gugus hidroksi (OH) pada ujung 3’ yang diperlukan untuk proses eksistensi DNA. Perancangan primer dapat dilakukan berdasarkan urutan DNA yang telah diketahui ataupun dari urutan protein yang dituju. Data urutan DNA atau protein bisa didapatkan dari database GenBank. Apabila urutan DNA maupun urutan protein yang dituju belum diketahui maka perancangan primer dapat didasarkan pada hasil analisis homologi dari urutan DNA atau protein yang telah diketahui mempunyai hubungan kekerabatan yang terdekat.
Dalam melakukan perancangan primer harus dipenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
a. Panjang primer
Di dalam merancang primer perlu diperhatikan panjang primer yang akan
dipilih. Umumnya panjang primer berkisar antara 18 – 30 basa. Primer dengan panjang kurang dari 18 basa akan menjadikan spesifisitas primer rendah. Untuk ukuran primer yang pendek kemungkinan terjadinya mispriming (penempelan primer di tempat lain yang tidak diinginkan) tinggi, ini akan menyebabkan berkurangnya spesifisitas dari primer tersebut yang nantinya akan berpengaruh pada efektifitas dan efisiensi proses PCR. Sedangkan untuk panjang primer lebih dari 30 basa tidak akan meningkatkan spesifisitas primer secara bermakna dan ini akan menyebabkan lebih mahal.
b. Komposisi primer.
Dalam merancang suatu primer perlu diperhatikan komposisinya. Rentetan
nukleotida yang sama perlu dihindari, hal ini dapat menurunkan spesifisitas primer yang dapat memungkinkan terjadinya mispriming di tempat lain. Kandungan (G+C)) (% jumlah G dan C) sebaiknya sama atau lebih besar dari kandungan (G+C) DNA target. Sebab primer dengan % (G+C) rendah diperkirakan tidak akan mampu berkompetisi untuk menempel secara efektif pada tempat yang dituju dengan demikian akan menurunkan efisiensi proses PCR. Selain itu, urutan nukleotitda pada ujung 3’ sebaiknya G atau C. Nukleotida A atau T lebih toleran terhadap mismatch dari pada G atau C, dengan demikian akan dapat menurunkan spesifisitas primer.
c. Melting temperature (Tm)
Melting temperatur (Tm) adalah temperatur di mana 50 % untai ganda DNA terpisah. Pemilihan Tm suatu primer sangat penting karena Tm primer akan berpengaruh sekali di dalam pemilihan suhu annealing proses PCR. Tm berkaitan dengan komposisi primer dan panjang primer. Secara teoritis Tm primer dapat dihitung dengan menggunakan rumus [2(A+T) + 4(C+G)]. Sebaiknya Tm primer berkisar antara 50 – 65 oC.
d. Interaksi primer-prime
Interaksi primer-primer seperti self-homology dan cross-homology harus dihindari. Demikian juga dengan terjadinya mispriming pada daerah lain yang tidak dikehendaki, ini semua dapat menyebabkan spesifisitas primer menjadi rendah dan di samping itu konsentrasi primer yang digunakan menjadi berkurang selama proses karena terjadinya mispriming. Keadaan ini akan berpengaruh pada efisiensi proses PCR.

3. dNTPs (deoxynucleotide triphosphates)
dNTPs merupakan suatu campuran yang terdiri atas dATP (deoksiadenosin
trifosfat), dTTP (deoksitimidin trifosfat) , dCTP (deoksisitidin trifosfat) dan dGTP (deoksiguanosin trifosfat). Dalam proses PCR dNTPs bertindak sebagai building block DNA yang diperlukan dalam proses ekstensi DNA. dNTP akan menempel pada gugus –OH pada ujung 3’ dari primer membentuk untai baru yang komplementer dengan untai DNA templat. Konsentrasi optimal dNTPs untuk proses PCR harus ditentukan.

4. Buffer PCR dan MgCl2
Reaksi PCR hanya akan berlangsung pada kondisi pH tertentu. Oleh karena itu untuk melakukan proses PCR diperlukan buffer PCR. Fungsi buffer di sini adalah untuk menjamin pH medium. Selain buffer PCR diperlukan juga adanya ion Mg2+, ion tersebut berasal dari berasal MgCl2. MgCl2 bertindak sebagai kofaktor yang berfungsi menstimulasi aktivitas DNA polimerase. Dengan adanya MgCl2 ini akan meningkatkan interaksi primer dengan templat yang membentuk komplek larut dengan dNTP (senyawa antara). Dalam proses PCR konsentrasi MgCl2 berpengaruh pada spesifisitas dan perolehan proses. Umumnya buffer PCR sudah mengandung senyawa MgCl2 yang diperlukan. Tetapi disarankan sebaiknya antara MgCl2 dan buffer PCR dipisahkan supaya dapat dengan mudah dilakukan variasi konsentrasi MgCl2 sesuai yang diperlukan.

5. Enzim Polimerase DNA
Enzim polimerase DNA berfungsi sebagai katalisis untuk reaksi polimerisasi DNA. Pada proses PCR enzim ini diperlukan untuk tahap ekstensi DNA. Enzim polimerase DNA yang digunakan untuk proses PCR diisolasi dari bakteri termofilik atau hipertermofilik oleh karena itu enzim ini bersifat termostabil
sampai temperatur 95 oC. Aktivitas polimerase DNA bergantung dari jenisnya dan dari mana bakteri tersebut diisolasi . Sebagai contoh adalah enzim Pfu polimerase (diisolasi dari bakteri Pyrococcus furiosus) mempunyai aktivitasspesifik 10x lebih kuat dibandingkan aktivitas spesifik enzim Taq polimerase (diisolasi dari bakteri Thermus aquaticus). Penggunaan jenis polimerase DNA berkaitan erat dengan buffer PCR yang dipakai.
Dengan menggunakan teknik PCR, panjang fragmen DNA yang dapat diamplifikasi mencapai 35 kilo basa. Amplifikasi fragmen DNA pendek (kurang dari tiga kilo basa) relatif lebih mudah dilakukan. Untuk mengamplifikasi fragmen DNA panjang (lebih besar dari tiga kilo basa) memerlukan beberapa kondisi khusus, di antaranya adalah diperlukan polimerase DNA dengan aktivitas yang kuat dan juga buffer PCR dengan pH dan kapasitas tinggi (High-salt buffer).
Fragmen DNA hasil amplifikasi PCR dielektroforesis pada gel agarose 1%, penyangga untuk elektroforesis digunakan penyangga TAE 1% yang mengandung 40 mM sodium EDTA. Elektroforesis dilakukan pada 100 volt selama 1 jam Selanjutnya dilihat dengan transilluminator UV






           


SIMPULAN
Teknik PCR dapat digunakan sebagai metode akurat untuk mendeteksi patogen benih. Teknik ini menggunakan basik analisis asam nukleat suatu organisme. Kita tahu bahwa setiap organisme memiliki kode asam nukleat (DNA/RNA) yang spesifik. Oleh karena deteksi dan identifikasi penyakit benih menggunakan metode ini sangat spesifik pula.



DAFTAR PUSTAKA


Bruce B.1997. Genome Analysis, a laboratory manual. vol 1 (Analyzing DNA). USA: Cold Spring Harbor Laboratory Press.
Innis MA. 1990. PCR Protocols a Guide to Methods and Applications. California: Academic Press, Inc..
Newton CR, Graham A. 1994. PCR. UK: Bios Scientific Publisher. 2 9 Prinsip Umum dan Pelaksanaan Polymerase Chain Reaction (PCR)
Sambrook JEF, Fritsch, T, Maniatis. 1989. Molecular Cloning. USA: Cold Spring Harbor Laboratory Press. Sudrajat DJ, Nurhasybi.2009.Pengembangan metode pengujian dan standar mutu benih dan bibit tanaman hutan.Bogor (ID):Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor.
Watson JD, M. Gilman, Witkowski J, Zohler M. 1992. Recombinant DNA. USA: Scientific American Books.

Related Posts

deteksi penyakit benih dengan PCR
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.