Kamis, 13 Agustus 2015

menilik realita konversi lahan pertanian

Pertanian merupakan kebutuhan dasar manusia. baik negara maju maupun negara berkembang mutlak atas tersedianya bahan pangan dan industri dari pertanian.

Realita perkembangan pertanian di negeri tercinta ini semakin rumit. berbagai upaya pembangunan pertanian sudah diupayakan setiap silir bergantinya pemimpinan bangsa. setiap menteri yang diangkat selalu bisa menyakinkan rakyat bahwa kita semua akan dapat mencapai kedaulatan, keamanan, dan ketahan pangan.

Upaya pembangunan pertanian semakin digencarkan, namun pemerintah mendapatkan ganjalan batu besar yang siap menghadang. konversi lahan pertanian ke non pertanian diberbagai tempat semakin tinggi. kondisi tatakota yang kurang baik, ditambah lagi hukum negara yang dianggap bisa di "goyang" menjadikan beberapa oknum berani merubah areal penghasil pangan produktif menjadi tempat industri atau pemukiman.

Jika kita melihat realita, memang sulit  dipungkiri bahwa lahan-lahan pertanian yang berada di daerah urban akan tetap abadi. upaya pemerintah untuk menjadikan lahan pertanian sebagai lahan sawah abadi perlu ditinjau kembali. alasannya pada realita petani atau pemilik lahannya. lahan sawah kita ketahui hanya dapat diperoleh hasil yang biasa saja jika dirupiyahkan, ditambah lagi pola kultur teknis masyarakat indonesia yang masih tradisional menjadikan ketidak efisienan. jika kita melihat lahan-lahan sawah yang tersisa di dipinggiran kota, anda pasti sudah bisa menebak bahwa nilai harga jual lahan tersebut lebih dari nilai jual lahan sawah biasannya. jika petani diwajibkan oleh pemerintah untuk tidak menjual lahannya sama artinya kita tetap membiarkan mereka berada dalam garis kemiskinan. kondisi rill ini telah terjadi banyak tempat di Indonesia. seseorang Seseorang dengan mudah bisa menjual lahan sawahnya kepada para pembeli untuk dijadikan pemukiman atau kawasan industri. ini disebabkan oleh alasan yang klasik, yakni keuntungan yang menjanjikan. 

Alasan utama yang menjadi akar permasalahan adalah adanya tata ruang suatu daerah. Kondisi kebanyakan tataruang perkotaan diindonesia sekarang  adalah campur aduk antara wilayah pemukiman, industri, dan pertanian. pemerintah harus bisa menata ruang suatu wilayah menjadi kawasan-kawasan khusus, seperti kawasan khusus industri, kawasan khusus peternakan, kawasan khusus pemukiman, kawasan khusus pertanian dan lainnya. disamping itu, pengelasaan jalan juga harus dilakukan, mengingat jalan yang bagus di areal lahan pertanian akan membuat nilai harga jual lahan meroket tinggi. ini yang menjadikan pemilik lahan cenderung akan berpikir ulang untuk tidak menjual lahan. hal inilah yang diharapkan dapat menekan angka konversi lahan pertanian produktif ke nonpertanian.

Alternaif lain sebenarnya bisa saja pemerintah tetap membuat kebijakan lahan abadi sawah produktif, namun sawah-sawah yang berada di area urban harus diberikan insentif khusus. selain peraturan pelarangan penggunaan ke non pertanian dipertegas, pemerintah harus memberikan gaji tetap kepada pemilik lahan sawah diarea perkotaan sebagai biaya penghargaan atas kesediaan untuk mempertahankan lahan pertanian. ditambah lagi dengan penegakan hukum, jangan sampai ada stigma masyarakat bahwa hukum bisa dibeli dengan uang dan kekuasaan. dengan begitu, konversi lahan bisa ditekan dan areal hijau perkotaan tidak berkurang.
Cirebon,13-8-15
Obrolan bersama Dr.Ir.Tejo Baskoro,M.Sc (Dosen Ilmu Tanah IPB)

Related Posts

menilik realita konversi lahan pertanian
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.