Senin, 09 Oktober 2017

Membangun Masyarakat Ideal

Buku yang saya baca kali ini cukup tak terduga. Dengan kover berwarna merah, buku dengan jumlah 245 halaman  ini awalnya saya pikir berisikan sebuah teori panjang layaknya tulisan para tokoh besar lainnya. Namun ternyata tidak, Buku berjudul “Masyarakat Tanpa Ranking, Membangun Bangsa Bersendi Agama” ini ternyata merupakan kompilasi artikel-artikel pendek dengan rata-rata berkisar dua halaman saja.

Namun cukup menarik, tulisan-tulisan ini merupakan buah keistiqomahan salah seorang tokoh besar yang menulis setulus hati apa yang beliau pikirkan setiap harinya. Prof Dr Imam Supraogo, Msi, sang penulis, merupakan orang yang mendapat gelar rekor Muri atas konsistensinya dalam menulis setiap hari. Beliau adalalah orang yang memimpin UIN Malang selama 16 tahun dan berhasil membuat kampus tersebut membesar yang awalnya merupakan satu fakultas dari UIN Sunan Ampel Surabaya.

Persoalan yang disajikan dalam buku tersebut bukanlah sesuatu yang rumit. Disana ditulis persoalan ringan hingga persoalan agama dan bangsa. Ketulusan hati dan kecerdasan beliau terlihat jelas dalam menyikapi dan memberikan solusi atas persoalan-persoalan apapun yang beliau hadapi dan lihat setiap harinya. Kemudian ditulis dalam setiap judul.

Beliau selalu menulis selepas seubuh selama bertahun-tahun dalam fb pribadi maupun situs resmi UIN Malang ini. Tulisan beliau yang ringan, namun memiliki makna yang mendalam bagi siapapun yang membaca. Beberapa hal sederhana dan bersifat keseharian dikemas dengan banyak hikmah. Terkadang dianalogikan dengan suatu hal yang sederhana hingga mudah dicerna oleh orang awam. Dan setiap akhir dari tulisan beliau selalu bermakna pesan mendalam, baik pesan keagamaan, kebangsaan, atau kemanusiaan.

Hal yang selalu beliau singgung adalah persoalan korupsi. Betapa beliau menyinggung persoalan korupsi sebagai penyakit bangsa. Juga mengenai asal usul terjadinya kegiatan biadap ini. Seperti dugaan pemilihan calon legislatif dan pejabat yang penuh dengan money politic dan transaksional.

Pengen lebih jelas, silakan baca bukunya langsung.. hehe

Semoga beliau diberi kesehatan dan selalu menginspirasi banyak kalangan. Amin

Jepara, 9 Oktober 2017

Sabtu, 30 September 2017

Tentang Anak


Anak adalah anugerah yang diberikan Allah kepada setiap orang tua. Luarbiasanya, setiap anak ditakdirkan menggemaskan dan lucu, serta sangat membahagiakan bagi siapapun yang dianugerahi, baik laiki-laki maupun perempuan. Kondisi anak pun berbeda-beda, ada yang baik, penurut, pembangkan, berani, suka menantang, berprestasi, penakut, nakal dan sebagainya. Sejauh ini di Kampung, banyak masyarakat yang beranggapan bahwa mengenai anak adalah dunia anak itu sendiri. Masyarakat masih banyak yang luput perhatian mereka atas faktor interaksi dan pengaruh lingkungan dimana anak-anak itu tumbuh, seperti siapa keluarganya, tetangganya, dan lingkungan bermainnya. Hal ini yang penulis anggap sebagai hal yang perlu diperbaiki.

Dalam realita, penulis melihat sendiri bagaimana persepsi orang tua kebanyakan yang cenderung melihat anak mereka sebagai individu mereka sendiri. Dengan konsekuensi bahwa mereka adalah sepenuhnya takdir baik fisik, mental, daya pikir (IQ), maupun perilakunya. Akhirnya, beberapa diantara mereka membanding-bandingkan dengan anak tetangga yang lebih gemilang, seraya merendahkan anak mereka dihadapan bocah tersebut. Padahal itu mungkin karena satu hal kecil yaang memang tidak dikuasai anak tersebut.

Beberapa orang tua merasa bahwa anak yang mereka punya telah ditakdirkan bodoh. Tidak seperti anak si A atau B yang lebih pintar. Parahnya lagi, mereka tidak mau tahu dan selalu menuntut anak-anak mereka menjadi sesuatu yang mereka inginkan tanpa disadari memberikan contoh keteladanan. Orang tua akhirnya seolah menjadi diktator bagi anak-anak mereka. Mereka tidak tahu bahwa semakin di paksa anak akan semakin sulit dikendalikan. Beberapa bahkan menyerah terhadap perilaku anak-mereka yang sudah membuat mereka malu dihadapan masyarakat umum. Lalu apa yang perlu dilakukan? Apakah ini memang kesalahan dari individu anak itu sndiri?

Kali ini, saya menikmati sebuah buku bacaan yang ditulis oleh Bunda Ve berjudul “Gadis Kecil itu Bernama ARA”. Buku ini mengisahkan begitu pentingnya sebuah pembelajaran bagi siapapun yang sedang mengasuh dan mengarahkan anak, termasuk sebagai orang tua. Itulah yang saya sebut sebagai “education for parent”. Banyak orang bisa ‘membuat’ anak tapi tidak bisa merawatnya. Merawat dalam hal ini tidak hanya mengenai kebutuhan biologis sang anak, namun lebih jauh lagi. Yakni mengenai kasih sayang dan  pendampingan, hingga membuat anak tumbuh berkembang dengan baik baik fisik maupun psikologisnya.  

Ara, seorang anak yang diceritakan dalam buku tersebut digambarkan sebagai gadis kecil yang sangat penurut. Meski penurut, sifat ini tidak berkorelasi positif dengan hasil akademiknya. Ara telah membuat Ibundanya, Ibu Maryam, mengelus dada akibat hasil raport dan ulangannya yang buruk. Ara dianggap anak yang bodoh, idiot, slow learner, dan tidak percaya diri. Kondisi ini yang akhirnya ditemukan oleh seorang pendamping bernama Bunda Ve, yang kemudian menjadi pendamping Ara dan menulisnya dalam bukunya kali ini.

Setelah diselidiki oleh Bunda Ve, salah satu faktor terbesar keterpurukan Ara adalah akibat perlakuan orang tua mereka sendiri. Tidak bisa dipungkiri, kondisi sulit dalam keluarga dan ketidak tahuan orang tua dalam mengarahkan anaknya membuat kondisi keluarga Bu Maryam seperti ini. Secara tidak sengaja, Bu Maryam telah menggiring Ara dalam kondisi yang lemah. Dia telah mematikan potensi yang ada dalam diri Ara. Perlakuan ini digambarkan dalam berbagai hal, seperti perkataan yang memfonis, tidakan yang melarang, memaksa, membentak, dan lain sebagainya. Hal-hal sederhana yang tidak disadari mampu membunuh karakter anak.

Lewat pendampingan yang dilakukan Bunda Ve, perlahan Bu Maryam di bimbing untuk mengubah persepsi terhadap anaknya. Pertama yang ia lakukan adalah mengubah persepsi sang Bunda agar memandang Ara sebagai anak yang pintar, dan gemilang. Bunda Ve menggiring agar fokus kepada karakter Ara yang baik, dan membuang jauh karakter sebaliknya. Begitupun pendampingan yang dilakukan kepada Ara, dibantu dengan asisten Bunda Ve- Miss Eva, Ara dibuat menjadi anak yang percaya diri dan berani mendobrak apa yang divoniskan orang tua dan guru Ara sebelumnya. Sekali lagi menggunakan metode yang sederhana. Yakni dengan mengajak bermain, selalu di puji (apresiasi), dan selalu gembira. Semua dilakukan dengan mengubah kata-kata menjadi kalimat yang membangun. Apapun dilakukan dengan menyenangkan, tanpa memfonis Ara sebagai anak yang bodoh.

Akhirnya, foktor pendampingan ‘psikologis’ itu berbuah  hasil. Luar biasa, hal yang seakan ranah psikologis itu berdampak pula pada akademis seorang Ara. Ara menjadi percaya diri, periang, dan pintar. Ara juga naik kelas dengan nilai akademis yang sangat memuaskan. Dari buku tersebut penulis berpendapat bahwa menjadi orang tua bukan hal yang sederhana. Prof.Sumantri mengatakan bahwa kegagalan anak usia sekolah, baik akademik maupun bidang lainnya, bukan karena mereka bodoh, melainkan karena kurang percaya diri.  Oleh karenaya, sebagai orang tua maupun calon orang tua harus belajar bagai mana menjadi orang tua sesungguhnya, yang memberikan cinta sepenuhnya.

Jepara, 30 September 2017 

Rabu, 27 September 2017

KH Ilyas Ruhiat, Ajengan Sunda dan totalitas pengabdiannya di NU

Awalnya saya hanya pernah mendengar sosok Rais Aam PBNU pada masa era Gus Dur. Saya hanya mendengar dari beberapa informasi bahwa beliau satu-satunya pejabat tertinggi di NU asli darah sunda. Tak terlalu terlihat dalam media sejauh yang saya dengar, namun kabarnya sangat berwibawa dan dijadikan panutan seantero tanah priyangan. Telisik saya, siapa sebenarnya beliau ini, sosok yang katanya menjadikan Tasikmalaya menjadi kota santri itu, sosok pejuang NU yang sangat ikhlas tersebut. Alhamdulillah, pada NLC II KMNU Nasional yang diselenggarakan di Bandung tahun lalu, saya dihadiahi sebuah buku dari salah seorang pembina KMNU STKS berjudul “Ajengan Cipasung, Biografi KH. Moh. Ilyas Ruhiat”, yang ditulis oleh Kang Iip D. Yahya. Dan Alhamdulillah, setelah hampir setahun tak terbaca, sekarang, akhirnya mampu menamatkan sebuah buku tersebut dengan sangat menikmati dan mengagumi sosok beliau ini. Berikut saya ceritakan ulang sedikit apa yang saya tangkap, semampu saya, dan maaf jika ada kesalahan dalam penafsiran, mohon masukannya.
            
Ajengan Ilyas, beliau adalah putra pertama dari salah seorang tokoh besar Cipasung bernama Abah Ruhiat, yang merupakan sahabat dekat KH. Abdul Wahid Hasyim. Selepas Abah Ruhiat wafat, sebagai anak pertama skaligus sosok yang dianggap paling mumpuni untuk melanjutkan kiprah dunia pesantren, Ajengan Ilyas diamanahi untuk memimpin roda kepemimpinan pesantren tersebut. Ajengan Ilyas pun tak bisa menolak dan memang jiwa kepatuhannya sebagai putra sang abah dan keilmuannya diyakini Abah mampu membuat Cipasung bersinar.

Dimasa mudanya, Ajengan Ilyas sudah diminta Abah untuk aktif dalam kepengurusan IPNU, baik tingkat Tasik maupun Jawa Barat. Berkat keaktifannya tersebut, beliau mengenal banyak sosok penggerak NU muda dari berbagai wilayah di Nusantara. Hingga dewasa, ajengan Ilyas selalu ikut dalam kepengurusan NU. Aktivitasnya dalam NU tidak justru meninggalkan segala aktivitas pesantren. Disela-sela kesibukannya, beliau selalu memantau segala yang terjadi di Cipasung. Beliau bahkan tidak pernah meninggalkan pengajian kamisan kecuali dilanda kesehatan yang memburuk. Beliau selalu memegang amanah sang Abah untuk mengurusi Cipasung apapun yang terjadi, dan selalu berpesan kepada semua saudara dan anak-anak beliau agar tidak ada istilah “Bekas Pesantren Cipasung”. Dalam berbagai hal, Ajengan Ilyas adalah orang yang selalu optimis dan pantang menyerah. Kesungguhannya dalam mendidik putera dan puteri beliau agar bersedia melanjutkan kiprah sebagai pemimpin Cipasung sangat terlihat jelas. Meski ketiga keturunan beliau tidak ada yang membidangi bidang ke-pesantren-an, beliau tetap berkeyakinan bahwa suatu saat mereka akan tetap membuat bersinar Cipasung dengan cara mereka masing-masing. Dan hal itu telah terbukti, berikut mereka juga menyadari betapa pentingnya menghidupkan dan memajukan Cipasung sesuai cita-cita sang Ajengan.

Beberapa hal yang saya tangkap dari beliau adalah beberapa sifat beliau yang perlu diteladani. Diantaranya adalah sifat kesantunan, selalu khusnudhdhan, tidak pernah berkubu meskipun suka berembug, tenang, ikhlas, berusaha merangkul semua pihak, dan totalitas Pengabdian di NU. Pada era beliau menjabat sebagai Rais Aam PBNU, tidak ada sama sekali yang menduga bahwa Ajengan ini akan menduduki posisi tersebut, bahkan wartawanpun. Namun keberadaan beliau yang tanpa tendensi kepada salah satu pihak dalam NU membuat semua orang tidak ada yang menolak keterpilihannya, yakni terpilihnya beliau jadi Rais Aam pada Muktamar Lampung. Terpilih lagi menjadi Rais Aam pada Muktamar Cipasung bukanlah menjadi niat bagi beliau. Beliau berprinsip bahwa terpilih adalah bukan maksud dan tujuan beliau, melainkan amanah dan kesepakatan muktamirin. Tak sedikitpun wajah beliau menunjukkan kegembiraan sebagai orang nomor satu dalam NU. Bahkan beliau mengatakan “semoga saya selamat”.

Pada muktamar Cipasung, yang kata KH. Munasir Aly sebagai muktamar paling kotor sepanjang sejarah, memang sangatlah berat. Waktu itu, NU di landa perpecahan akibat konflik dua kubu Cipete-Situbondo. Dalam situasi lain, muncul banyak pihak luar yang mulai berinfiltrasi masuk kedalam muktamar. Beberapa berkeinginan agar Gus Durlah yang  menjadi ketua tanfidziah sedangkan lainnya menolak. Ajengan Ilyas yang menjadi tuan rumah tidak terlalu memperdulikan hal itu, beliau berusaha netral dan mengayomi semua golongan. Baginya, upaya menjadi tuan rumah muktamar yang baik adalah tujuan utumanya.

Beliau terpilih menjadi Rais Aam pada muktamar cipasung. Terpilihnya beliau juga terjadi pada Gusdur yang mengalahkan Abu Hasan, sebagai ketua Umum PBNU.  Dalam banyak sumber mengatakan bahwa kepengurusan PBNU di bawah Ajengan Ilyas dianggap di stir oleh Gusdur, Namun bukan hal demikian. Ajengan Ilyas lah yang mampu berkoordinasi dengan Gus Dur dan berusaha menjadi sesepuh baginya. Karakter kesahajaan beliau lah yang membuat beliau lebih dikenal tenang. Beliau lebih berharap semua mematuhi hasil muktamar Cipasung. Hal ini yang dianggap orang beliau seakan pro Gus Dur, padahal maksud hati tidak ingin terjadi perpecahan dalam NU.

Beliau beberapa kali dikritik oleh banyak orang, baik dari luar maupun dari dalam tubuh NU sendiri. Sifat kalem, khusnudzdzan, sederhana, dan berusaha tidak berkubu dimaknai orang sebagai sosok yang tidak berpendirian. Namun hal itu bermakna lain bagi pihak yang memahami prinsip hidup Ajengan ini. Pada akhirnya, beliau salah satu orang yang berjasa mengantarkan Gus Dur menjadi Presiden RI. Pada saat itu, Gusdur menjadi ketua umum, dan Rais Aam dipegang oleh Ajengan Ilyas. Meski begitu, jasa Ajengan ini seakan luput dari pantauan media. Beliau juga yang sangat getol memegang prinsip kembalinya NU ke Khittah 1926 dengan seratus persen mengalihkan NU tidak pada rahan politik praktis.

Diantara prinsip hidup beliau yang patut di teladani adalah : beliau pernah mengatakan ketika ditanya seorang wartawan bahwa “hidup saya hanya untuk mengajar dan mengabdi di NU”. Beliau suka berlomba tapi tidak untuk berkomplot. Bekerja karena Allah dan tidak tergantung pada siapapun. Bersahaja, sederhana, dan sangat menjaga persatuan baik bagi NU maupun bagi bangsa. Ajengan Ilyas, salah satu tokoh yang sangat berkepribadian baik, mulia akhlaqknya, dan sederhana dari tanah sunda. Semoga kami dapat meneladani engkau. Amin.


 Jepara, 27 September 2017

Minggu, 09 Juli 2017

Answering with Instinct of Science or Reality


Rice field... paddi... and its pests and diseases

Recently, mostly farmers, possibility all Java regions and which i have seen in East Lampung, were confused by the phenomenon of plant hopper outbreak (Nilaparvata lugens). Some incidents seemed hopper burn-rice like burnt-, tungro virus infection, and emotionally they burnt all the infected rice field for some areas with very hard damage.

Their scream louds up..
Either within their hearts or their mouth..
What most effective poison (pesticide), wherever, though it’s expensive, they must look for. What a hell for its active ingrediens, crop suitability, the more effective poison according to the friends, the more suitable poison to the choice.
There are farmers who still try control by spraying an harzardous poison, and some let their crop ended by those plant hopper.

In my mind, “poison is poison”

At least i have watched by my own eyes how their feeling at a village in East Lampung. They told me more and more, about their problems, they (felt) have done all the procedures of cultivation guide in the same manner as farmer guide said (penyuluh). They also said that they have understod where is pest and where is natural enemy. However in the reality the pest disaster is still coming.

They really tell me more and more, they try to put their hope to me, by full expectation, with whispering thir slow voice : is there the most efective “poison” which can answer that problems?  Wehereas as long as i studied in the Campus, i never heard my lecturers explained about what efective poison that can dissipate those pest from the world.

That’s really complex, there are manythings which influenced thats happen. In the same condition, Plant Protection alumnus and Pest-disease observer (POPT) is claimed same as firefighter, informed when the fire has attacked. Whereas, to save our house from fire needs a strategy called prevention. Keeping the house from the fire is not mean that we should alert an enough water, but from the beginning, by strategies, like setting electrical instalation, avoiding combustible material, and many recommended manners.   

Becouse, there is a natural mechanism in nature that’s called food chain. Every individu of animal is accompanied by its natural enemy. If they are intervenced by a poison, we kill not only the target animal (pests).
That’s agroecosistem management.

Truelly, provisions for diagnosting pest and disease incident i obtaied from the campus are enough to be developed, particularly to cammon problem like this. According to me, it’s not really difficult. But, that become very challenge is how we serve a recommendation/prescription to the farmers about controlling the pest which is suitable with what their wants.

We have to know that they always want an easy, quick, and direct solution, and finally all pests die.

If we can’t give the recommendation which is not as they wants, the farmers will claim that we don’t bring the solution. They will prefer to heard poison sales man who always become like the angle who will help them. Whereas, we mean not like that, like a long story that we have just started to tell, and its slow. A mecanism of agroecosistem management.

Willy nilly, proposing our aims to direct on good agroecosystem management by reducing pesticide usage, wise its application considering IPM principles, beated by other unresponsible solutions spreading among them.

They asked about what effective poison, what trad-mark it is. In the other side chemical pesticides prpmotion is rise up.

Mostly farmers have known that some of the poisons could resistence to pest offsprings.

But we don’t do more
“the more important is that my crop can be safe, and i can live”, therefore, we just wait for the bad news willing to come somedays later.

We should aware about their fate, they need our hand.
Perhaps they are natural degradator, but don’t forget about their service, becouse they are the hero, or they may be the policy victim. Without them, we don’t have any meal, no energy, no technology, no communication, then no life.

The Farmers
these State fighters become harder
need patient guides who can guide them go forward better.
Still a piece of optimistic on their mind, our head, and our goverment.
Be patient and slowly to be server of them, it’s our task
Don’t just make an endless drama


Personal note, Brissy

Rabu, 10 Mei 2017

Seusai Hujan


Disini mencumbui dingin sisa renyai hujan yang tertinggal. Angin-angin dari timur mencarik apapun yang ia lewati. Langit hitam pekat menutupi pandang mentari. menghujani air mata semua yang ada di bumi. Daun-daun kanopi menyambut dengan suara serupa puisi, bersajak-sajak tanpa interpretasi. Sambaran cemeti yang tiada henti, menghentakan setiap kata sebelum dicecapi. Ada apa hati ini tetap merasa sepi.

Seusai hujan, pasir putih pesisir terseret kenangan indah. Tubuh-tubuh lembing hama padi-padian berjatuhan dari tempat ia singgah. Riak air yang menggenang di sepanjang  paliran rawa sawah. Menghapus jutaan sisa kehidupan bersejarah. antara diriku dan engkau sahabatku.

Dimanakah engkau sahabatku? Selesai hujan, kaki telanjang berempat menyusuri decak tanah merekah. Diri ini menatap bayangmu pada hening yang merambat. Satu demi satu pendarnya mengikat. Izinkan aku menyusun prosa senda. Melukis kehidupan yang tak selesai kita bahas bersama. Dengan kuas dan kertas lusuh yang tersisa. Tak terasa senja beringsut.. kerinduan pun larut dalam buaian angin yang berkesiut.


Tanah-tanah kedelai mulai melumat air-air angkasa. Ikan-ikan kecil berlarian merampas kesedihannya. Dahagaku dahagamu, kini telah sirna. Terimakasih atas mangsa, dimana kita hidup dalam dunia canda. Penuh cerita seiring hilangnya butir-butir hujan air mata. Sohib, untukmu sejuta salam dari paya. 

East lampung, 10 April 2017

Jumat, 05 Mei 2017

Di Sana


sungguh

"tak seindah ku menulisnya dalam kata"
"cukup biarkan terpendam dalam rasa"
"benih-benih bertebaran di hamparan"
"tanda sebuah harapan kehidupan"
"ya.. yang di sana"
"lagu-lagu yang tak pernah di mengerti"
"terdendang indah dalam sanubari"
"berjalanlah... berjalanlaahh.."
"lihatlah indahnya sore ini"
"sebuah mata hari kuning bersinar"
"di atas lautan sore ini memancar"
"ya.. yang di sana"
"apakah hanya aku yang bahagia, atau kita"
"entahlah, aku tersenyum saja"
"bayangku merona manis tak di sangka, disana"
"ya.. yang di sana"

East Lampung, 5th April 2017

Selasa, 02 Mei 2017

Sebuah Canda

Hallo sahabat Brissy. Kali ini kita akan mengomentari sajak dari Kang Ibnun sang pujangga. Hehe.. istilahnya adalah kritik sastra. Sajak-sajak di bawah ini merupakan sajak kang Ibnun yang mungkin tak terasa ia lontarkan baik sadar maupun kondisi tidak sadar. Sehingga mohon di maklumi jika terjadi kesalahan dan kekeliruan baik keliru sedikit maupun fatal. Kok bisa fatal? Nanti saya kasih tau dimana fatalnya.  Wkwkwkwk

Kita mulai dari sajak pertama :
“Wahai kalian para perindu, saling menasehatilah di antara kalian
sungguh setelah jarak yang jauh cinta semakin bertambah”

sarah :
kali ini mungkin Kang Ibnun sengaja menyapa para perindu, mungkin spesifiknya adalah para joms yang merindu kepada dambaannya. Beliau berkata “saling menasihati”, disini bermakna cukup mendalam karna mungkin biasanya setiap joms memiliki penderitaan masing-masing. Memang sangat meletuk ya, mengingat orang yang menderita akan selalu ada hikmah didalamnya, sehingga bisa saling menshare hikmah tersebut dalam bentuk nasihat.. eaa.. mulia sekali ternyata.
Selanjutnya adalah, Kang Ibnun mengatakan bahwa setelah jarak yang jauh, cinta akan semakin bertambah, maksudnya mungkin kangennya akan semakin besar, karna gak pernah ketemu. Hanya ketemu lewat doa di sepertiga malam. Wawawawaw.... hmmm... sangat indah sekali sodara-sodara... krik krik wkwkk

Sakaj kedua
“dan pernah aku terdampar di luas laut rindu
dihempas badai perpisahan
kita benar tak kan pernah tahu
kemana arus kehidupan mengalir
tapi biar ku kayuh
ku kembang layar
sampai angin yang kau doakan datang
membawa perahu menujumu
aku minta maaf
jika rindu-rindu kecil kita
masih sering pipis di matamu
aku hanya”

sarah:
nah.. langsung saja... Sahabat Brissy mungkin hanya melihat indahnya sajak diatas, namun ini yang saya bilang fatal, katanya ia pipis di matamu. Wkwkwkwk,,, wah bisa fatal ini, bisa kena penyakit ini.. wah gak bagus, jangan di tiru ya sobat, mungkin dia punya makna lain. Mungkin bisa di tanya langsung ke pengarangnya ya... hahaha

sajak terakhir:
“apakah engkau merasa rindu
sampai batas yang teramat sangat menyedihkan”

sarah:
dari ketiga sajak diatas, sepertinya ini menggambarkan bahwa sang penulis sedang rindu. Ini mungkin di tulis ketia ia benar-benar terjebak dalam suasana kerinduan mendalam akan hadirnya sang kekasih. Mungkin saja. Tapi yang ingin saya tekan kan adalah, bahwa kerinduan itu manusiawi. Dan merupakan sebuah energi supranatural yang sengaja dihadirkan Tuhan untuk hamba-hambanya di bumi. So.. kerinduan bagian dari cinta ya sobat. Maka, obati kerinduan dengan cara-cara yang dapat menambah kerinduan itu sendiri, seperti dengan panjatan doa, sholat malam dan lainnya, begitulah kata sang pujangga Ibnun.

Sekian omong kosong hari ini.. semoga terhihubur.. hehe

Poetry Written by : Ibnun
Interpreted by : Brissy


Minggu, 30 April 2017

A Sign



If the sun rises
When the moon no longer shines
When the morning insects were flying
Whatever I am as a human being
The dream should be stopped
Veins and themselves must run
All already outlined by god

My eyes looked straight into the sky
How cool a warm morning
How beautiful the blue sky
How happy are the grateful birds
Really happy,
O my Lord, send down a piece of your happiness to this earthly servant
For those who yearn for affection

If you have sparkled the heavens into the earth
If the heavens of heaven have you given to the earth
If the love you have inserted into every human heart
Only gratitude should always be promised
So that love-love is never lost direction
That all this is coming and only for you, god

East Lampung, End of April 2017

Cara Membuat Arang Sekam Padi


Salah satu hal penting dalam kesuksesan budidaya pertanian adalah tersedianya pupuk yang cukup dan berimbang. Salah satu pupuk terpenting yaitu pupuk Kalium atau disingkat K. Pupuk ini secara kimia biasanya dijual dalam bentuk KCl. Harganya cukup mahal, namun sangat menentukan, terutama dalam pembungaan dan pembuahan. Jika tanaman kurang pupuk ini, akan berakibat pada buah/biji yang terbentuk kurang bagus dan kurang banyak. Nah.. Bagaimana kalau tidak ada uang atau susah mencari pupuk KCl?

Bentar sobat, Sobat Brissy gak usah khawatir, ada bahan alternatif untuk membuat pupuk K tanpa harus beli. Dengan cara apa? Dengan memanfaatkan limbah penggilingan padi yang biasanya banyak di jumpai di beberapa kampung.

“sekam”, 

Sekam mengandung banyak unsur K, namun tidak bisa dimanfaatkan secara langsung. Sekam padi harus diarangkan terlebih dahulu. Pupuk arang sekam memiliki beberapa keunggulan, diantaranya adalah: memperbaiki struktur dan tekstur media tanam, asupan pupuk K, dan ramah lingkungan. Apakah susah cara membuatnya?


Mudah kok. Mari sobat Brissy saya ajari cara membuat arang sekam dengan murah dan mudah.

Bahan dan Alat
      bahan
  1. air
  2. sekam padi kering
  3.  kayu bakar
  4.  bensin/minyak tanah
Alat

1     kaleng besar dari besi
2.      paku besar
3.      palu
4.      pemotong besi (gunting)
5.      plat besi
6.      kawat besi
7.      korek api


Pembuatan Alat
1.       lubangi kaleng besar dengan paku secara merata di semua selubung
2.       beri lubang besar di bagian atas untuk cerobong
3.       lipat plat besi untuk calon cerobong
4.    masukkan cerobong dari plat ke lubang besar pada kaleng, kemudian ikat dengan kawat, alat siap digunakan

Proses Pembuatan Arang Sekam
1.       posisikan alat rebah, dan isi kaleng dengan kayu sebagai calon bahan bakar
2.       siram dengan bensin secukupnya, kemudian sulutkan api kedalamnya
3.       setelah terbakar sempurna, tegakkan alat dengan posisi cerobong menghadap ke atas
4.       biarkan kayu terbakar hingga setengah menjadi arang (3 menit)
5.       lumurkan sekam kering ke sekujur tubuh alat, hingga alat hanya terlihat cerobongnya saja
6.       tunggu hingga sekam yang bersentuhan dengan kaleng menghitam jadi arang
7.   setelah kelihatan menghitam, lakukan pengadukan sehingga posisi sekam yang belum hitam dapat menempel ke permukaan alat.
8.       Lakukan pengadukan sekam hingga sekam berwarna hitam sempurna
9.       Ambil sekam yang sudah menjadi arang kemudian siram dengan percikan air.
10.   Arang sekam padi siap digunakan

Alat
Pembakaran Kayu Bakar
Sekam Ditaburkan pada Sekeliling Alat

Sekam menyelubungi alat 

sekam sudah mulai menjadi arang

arang sekam siap digunakan




Sabtu, 29 April 2017

Gapoktan as food security system; study from Pasir Sakti-East Lampung


Pasir Sakti, a name never be forgotten, a village in East Lampung-Lampung Province that many lessons i have obtained. The farmers here have their superiority which able to be followed by many communities. It is not about a cultivation, plant variety, or technology they use, but this is about social modal that they package to answer their internal economic problems.

Pasir Sakti village is not a metropolitan village, mostly richman composition, or an industrial village, this village is just a little village with majority of farmers and fishermans who live there. Most of their rice fields are changed from marsh. Its situation is very high sun intencity, much of dush, and commonly as a simple family. Also located near to the coast.

In Pasir Sakti village, there is a Farmers Group Aliance (Gapoktan) with name Sumber Rejeki. This Gapoktan is leaded by a farmer called Mr. Sage. Fortunately his home is that i spend my time as my accomodation for five months later, therefore it is not difficult to find informations from him. Gapoktan consist of farmer groups (Poktan), while every Poktan has its member (farmer) who has rice field within same area. Farmers in a Poktan are like neighboring field, though their house's distance are far. In this case, Gapoktan Sumber Rejeki has 5 group members, every group consist of 25-30 farmers with 25 hectare of rice field wide average.

These Poktan and Gapoktan routinly are guided by BP3K, a guidance institution on agriculture, animal husbandry, and forestry. Each village is under an agricultural guid. By the way, Gapoktan and Poktan have strategic side in Indonesia agricultural development. With this group, beside as interaction forum, it is as well as place to study together, sharing, and optimalizing increasing productivity. Within group, every member has similar right to speak. They  also can cooperate particularly in plantation management, maintenance, water management, irigation, pest and diseases management, and many more.  

There is an unique taken from Sumber Rejeki that can be rightfully prided. it is that they have a self food sufficient and food security system. Sumber Rejeki posseses a twice that being a reason to answer it, a money savings and rice barn. Both of them are collected from its members for every meeting twice weekly, and after harvesting for rice collection. the most honor is that it is not a huge collecting, when they make a meeting, every member (farmer) just contribute his money Rp20.000. while for rice contribution just 15 Kg of rice per hectare after harvesting. The meeting always become interesting because they always enter many other religious activities such as Yasinan, tahlilan, and so on to that.

Each member has his own right and obligation. Their obligation have been dercribed above, while the right is that they can borrow either money or rice in from barn in every time. After borrowing, every member have to return the charge, 15% for every loan. The paying for returning is not limited by time, they are free on the time. Except at the end of year becouse related with close book/close administration.

That is a strength of local wisdom on a community built for many years. An interview with Mr Sage said that the total of money saved at Sumber Rejeki Gapoktan is up to 80 millions rupiah, meanwhile the rice barn total for the rice up to several tons. That is incredible. I think if all villages Indonesia has do like Pasir Sakti has, we won’t get difficulty in food supply. Vulnurable food supply can be easily overcome without importing the rice from other countries. This is the other side from my expedition in developing soy bean commodity in East Lampung.


East Lampung, 30th April 2017

Minggu, 16 April 2017

Social, Economy, and Cultural Reality within Agricultural Improvement


A change is a necessity and certainty. Every human being will always change, both social change, patterns of behavior, growth, social interaction, economy, education and many others. Every human must always be ready to accept the changes at everything they face. These changes can be either lead to kindness or even to evil. Some opinions state that the changes can be directed in order to direct to the goodness.

In directing change, often occur pros and cons in our society. Not a few among the people who reject a good chance we have provided. In my opinion, the phenomena not to accept is not without reason. These factors are caused by social, educational, political, experience, economics, perception, cultural and so many others.

This is what is happening in the village of Pasir Sakti Sakti Kec.Pasir Sakti, East Lampung, where I served as a conduit where the technology of IPB on water saturated soybean cultivation technology. Some people personally reject aid of new technology of planting soybean for several reasons. On the pretext that "I do not eat soy, I eat rice", "those are my own land, it's up to me to manage these", "what does not decay when planting soy", "who will buy soybean products", and "we've never plant soybeans, how if it fails ". the Community candidate for receiving program at least divided into three groups, receiving fully, hesitated, and refused. The group that received usually they are ever better educated, younger, open minded, and who has a better economic level.

In the process of change, especially change driven and contrary to community habit is a fairness if there are many rejections, although logically it will be guarded and helped. The express rejection is because it still happens a shadow over previous events bad or a shadow of failure. Before that they already have a close feeling so that they doesn’t new perceptions, even though it is logic. Thus, we need specific strategies to repair their views to slightly open talks.

One of ways that can be done to open their eyes is by analyzyng the problems becoming rejection reason to the program. If I look at the reality of what happened in Pasir Sakti, at least it is because of failure shadow with these new technologies, because they have never seen and experienced to plant soy. Fears combining with the affairs of their lives makes them blind new sight, and relatively safe not to take dare to risks. However, the big problem is that they become the expense of other farmers who receive the program. Because actually all farmers would believe if a program is already proven successful.

Deeply Socialization and approached personally I think indeed be the best way to open their minds about what will actually offered (door to door). At least by meet them directly, there will be negotiations and exchange of each other's views. In terms of program providers can find out the principal factor that makes the problem they do not accept, and on the receiver side will be heard directly detailed explanation of the program. Although we can’t be able to guarantee the end they would be willing. Communication technique here is crucial.

Farmers have always need evidence to change their maindset. Facts on the field, that our farmers generally low level of formal education and that they are elderly, so persuasion and example approach is the key. Before making a proof, indeed we need to invite them to believe with a bit of a player gambling, be courageous in taking risks to change for the better. Every life is a choice, and every choice has a consequence respectively.


It's really hard, because that they will do is whether the success or failure. All could be due to the classic factors that lurks every agricultural production, natuel. This is about their life and death, no wonder if they are very vigilant. However, we as a new science and technology carrier ceaselessly provide new understanding to them. Considering that they are elderly majority, who need a simple language for easy digestibility, although they are more experienced in the field.

East Lampung, April 2017

Sisi Liburan


Pasir sakti, sebuah nama yang tak akan kulupakan tentunya. Sebuah desa di kabupaten Lampung, provinsi Lampung yang membuatku banyak hal yang dapat aku ambil pelajaran. Petani-petani disini memiliki keunngulan tersendiri yang bisa di contoh oleh banyak masyarakat diluar sana. Ini bukan mengenai budidaya, varietas, ataupun teknoligi yang dipakai oleh mereka, tapi ini mengenai modal sosial yang mereka kemas untuk menjawab permasalahan ekonomi di internal mereka. 


Rabu, 12 April 2017

Lampung Traveler (English Version)

With Sulis (LPPM IPB)- Miss Sandra (IPB Lecturer)- Mr. Sage (Farmer)-
Resti (Partner)- Mr. Candra (IPB Lecturer)
Time is so fast, that finally brought me to the mainland across java island, Sumatera. Afer graduating, i got oportunity to join a program held by IPB-Ministry of Agriculture as assistant of increasing soy production by saturated water technology at the tidal area in East Lampung, Lampung Province. That was ultimately stay in Lampung for several months later, this is not a short time.

This is the first time i’d stayed at a new island for longer, even the first flight i did. Before that, i imagined the describtion of place i will occupy. Those are about environtmental farmer situation and hot sun radiation would burn my young skin. Unexpectedly, not all the imagination is the same as the real situation. I was placed at javanese transmigrant community, located on coast not far away with Bakauheni port. Socially, it’s really like at my house there. They are so friendly and welcome to my existance. But, two other things like radiation intencity and farmer condition are similar like what i have drawn. The intencity of sun radiation there can’t be underestimated.

The Environment here is not much different with conditions i have imagined before. They are javanes transmigrant from java island looking for occupation, then lived here within one specific community, finally being large district which consist of javanes as majority. That was like another javanes province out of java island.

The sun radiation intencity at midday is so high. Not only just by its temperature, but also about the high of light intencity from sun radiation to my eye, causing dazzled. That really cause my body to start doing many acivity outside. The hot wind mixed with white sand caused my skin feels sticky. Fortunately the water there was not really sticky, i think more camfortable. In addition, the existance of my agresive night friends (mosquitos) that attacked me nightly. This was the answer why finally Mrs Sage setted net arround my bad. In order to avoud malarial mosquito, hhehe naudzubillah.

Firstlly, that can be started was socializing to everyone and everywhere i met, as well as identified problems and analysed possibilities happen. I have met with Gapoktan leader, several farmers, PPL, TNI, and society there.  It was impressive because meeting with new persone would give new knowledges. I relized that my presence will be main attention to local community, so that way i have to put my self as good as possible. Exited, this may be as my laboratotium to lear how to be part of community in the future.

The more other exited about farmers life is that they are not always saffered. As in several media and other public attantions, the farmers looked as always related with backward, uneducated person, poorman, screaming ask help, unknown the newest technology, never smiling, having no future, and like unprospect job. They are seldom reported by some public media just when there was a drought, flood, pests and diseases outbreak, hopperburn, even drastically lower price therefore all of those make emphaty to every human looking at. However one side i have found about farmer socioeconomy was unique to be discussed.

Although i have just lived within farmer house for several days, at least there are several things can be concluded. Mr Sage, a leader of Gapoktan at Pasir Sakti Village in East Lampung where i live there for five month later has simple life condition, religius, and hard fight.Dislike that farmer never smiling, this profession even makes them fully smile. Why? While i interacted with him in every condition, i never heard him and his wife complain to their life condition. Tomplaining to the goverment aid and something related with agriculture, of course, was ever occured.  However he never complains as his land-water manager position in His earth. He always funny, energic, fully thanks to Allah. Since morning, he went to his field and was back at noon for meeting his wife. Then they lunch together with a delicious simple meal. At noon, they took rest and enjoyed at house beside of breathing  natural air flowing from the jungle. After that they teach holy quran to neighboring children everyday. Smilling, regarding, and friendlying  have been an obligation according to them, farmers in East Lampung.


Agriculture is about our society culture and life. Agricultural Food has become part of the life, the fight, the service, the dedication, the soul, and the challenge for the hero of food fighters  in our beloved nation. My presence as farmer assistant here is wishly hoped can help them to widen their smile. As academiciant, to be useful for many people around us is one of unprice thing. No need to spectacular found in the world unless can’t be implemented among our society. I am part of their soul, a regarder in our land,  who manage our father land, for everyone, no care to bandits and ghosts at capital town far there.


Lampung Traveler

Bersama Sulis (LPPM), Bu sandra (Dosen IPB), Pak Sage (Petani),
Ka Resti (Partner BJA), dan Pak Candra (DOsen IPB)
Waktu begitu cepat, yang akhirnya membawa saya terbawa ke daratan pulau seberang,  Sumatera. Selepas lulus ini, saya berkesempatan mengikuti program pendamping peningkatan produksi kedelai melalui teknologi Budidaya Jenuh Air pada areal pasang surut di Lampung Timur. Inilah yang akhirnya membawa saya tinggal diwilayah Lampung selama kurang lebih lima bulan. Tak singkat rupanya.

Ini adalah kali pertama saya bakal tinggal di sebuah pulau lain lebiih lama, bahkan mungkin penerbangan pertama kali yang saya lakukan. Saya berimaginasi atas gambaran tempat yang saya tempati, situasi lingkungan petani yang ada, dan terik matahari panas yang akan membakar kulit muda saya. Tak disangka, bahwa tak semua bayangan itu sama dengan situasi yang ada. Saya ditempatkan dilokasi transmigran orang jawa, terletak di pesisir tak jauh dengan pelabuhan Bakauheni. Secara sosial, aku seperti pulang ke rumah saja, mereka ramah dan sangat menerima kehadiran kami berdua. Namun dua hal lain yakni seputar radiasi dan petani hampir sama dengan bayangan. Terik surya daerah pasang surut memang tak bisa dianggap remeh.

Lingkungan di sini memang tidak jauh berbeda dengan lingkungan-lingkungan yang saya bayangkan sebelumnya. Masyarakat jawa yang transmigrasi dari jawa ke Lampung dalam rangka mencari sesuap nasi, kemudian menetap disini dalam satu komunitas khusus, yang akhirnya menjadi satu perkampungan besar yang berisi hampir dominan suku jawa. Ibarat kata selayaknya satu profinsi jawa tersendiri diluar pulau jawa.

Terik mata hari pada jam siang begitu menyengat. Tidak hanya menyengat secara temperaturnya, melainkan juga pada besarnya intensitas cahaya yang menyengat ke mata membuat sendi-sendi tubuh malas untuk beraktivitas keluar pada jam-jam tersebut. Panas angin dicampur pasir membuat kulit memang terasa lengket. Untungnya air nya tidak terlalu lengket masih relatif nyaman bagi saya. Belum lagi terkait dengan serangan teman malam (nyamuk) yang cukup tinggi dan agresif pada malamnya. Ini menjawab mengapa akhirnya ibu petani memasangkan kelambu tidur, Biar gak kena malaria katanya, hehe naudzubillah.

Awal-awal, yang dapat saya lakukan adalah bersosialisasi kemanapun dan kesiapapun yang saya temui, sembari identifikasi masalah dan analisis kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Saya telah bertemu dengan ketua gapoktan, beberapa petani, PPL, komandan TNI, dan beberapa warga. Cukup menarik memang karena berkenalan dengan orang baru akan memberikan wawasan baru. Saya menyadari bahwa kehadiran saya akan menjadi satu perhatian tersendiri bagi warga sekitar, makannya saya harus bisa menempatkan diri sebaik mungkin. Menarik, ini mungkin bisa menjadi laboratorium belajar bermasyarakat bagi pribadi saya.

Yang menarik lainnya, bahwa kehidupan petani tak selama terpuruk. Dalam beberapa media dan sorotan publik secara makro mungkin benar, bahwa sosok petani diibaratkan selalu terbelakang, un education, miskin, menjerit, tak kenal teknologi,tak pernah tersenyum, tak punya masa depan, tak prospek bagi anak mudanya, petani sering diberitakan di beberapa media koran dan media elektronik lainnyanya manakala terjadi bencana kekeringan, kebanjiran, ledakan penyakit dan hama, puso, hingga anjloknya harga yang kesemuanya selalu membuat iba setiap insan manusia yang mengamatinya. Namun satu sisi saya menemukan hal lain bagi sisi sosioekonomi para petani ini.

Meski baru hidup dua hari di rumah seorang petani, setidaknya ada beberapa hal yang bisa saya ambil kesimpulan. Pak Sage, nama ketua Gapoktan di Desa Pasir Sakti Lampung Timur yang kebetulan juga saya tempati hingga lima bulan nanti. Beliau memiliki pribadi yang sederhana, religius, dan semangat juang. Tak seperti anggapan bahwa petani tak pernah tersenyum. Justru profesi seperti ini membuat mereka banyak tersenyum. Mengapa demikian? Ketika berinteraksi dengan beliau dalam kondisi apapun saya tak pernah mendengar beliau dan istrinya mengeluh terhadap kehidupan dan takdir. Kalo terhadap bantuan pemerintah dan beberapa hal terkait pertanian emang ada lah beberapa. Tapi beliau tak pernah menolak menjadi sang manajer tanah air di bumiNya ini. Beliau selalu tertawa riang, energik, dan penuh syukur atas limpahan nikmatNya. Dari pagi beliau ke sawah laku siang sudah kembali pulang sembari menemui sang istri tercinta. Makan siang bersama dengan menu sederhana yang penuh selera. Agak sorenya, mereka sedikit santai-santai didepan rumah sambil menikmati rindangnya pohon yang tertiup angin sepoi-sepoi dari arah laut selat Sunda. Kemudian di tambah aktivitas lain higga magrib tiba. Pada petangnya, pak Sage dan istri mengajar ngaji anak-anak sekitar rumah dan seperti itu setiap harinya. Senyum, ramah, dan syukur menjadi aktivitas wajib untuk menjadi seorang Pak Sage, petani di Lampung Timur ini.


Pertanian adalah mengenai budaya dan kehidupan dari masyarakat kita. Pertanian pangan telah menjadi bagian dari kehidupan, perjuangan, pengabdian, nyawa dan tantangan bagi para pejuang pangan bangsa tercinta ini. Kehadiran saya sebagai pendamping petani mudah-mudahan bisa banyak membatu melebarkan senyuman para petani yang ada. Sebagai kaum akademisi, menjadi berguna bagi masyarakat terdekat disekitar kita adalah satu hal yang tak pernah bisa dinilai harganya. Tak butuh temuan tercanggih didunia jika tak dapat dipakai oleh masyarakat kita. Saya adalah bagian dari nyawa mereka, para pejuang syukur dinegeri ini, yang mengelola tanah air nusa, untuk siapa saja tak peduli para bandit dan dedemit yang ada di ibu kota sana.   

Lampung, 12 April 2017