Rabu, 12 April 2017

Lampung Traveler

Bersama Sulis (LPPM), Bu sandra (Dosen IPB), Pak Sage (Petani),
Ka Resti (Partner BJA), dan Pak Candra (DOsen IPB)
Waktu begitu cepat, yang akhirnya membawa saya terbawa ke daratan pulau seberang,  Sumatera. Selepas lulus ini, saya berkesempatan mengikuti program pendamping peningkatan produksi kedelai melalui teknologi Budidaya Jenuh Air pada areal pasang surut di Lampung Timur. Inilah yang akhirnya membawa saya tinggal diwilayah Lampung selama kurang lebih lima bulan. Tak singkat rupanya.

Ini adalah kali pertama saya bakal tinggal di sebuah pulau lain lebiih lama, bahkan mungkin penerbangan pertama kali yang saya lakukan. Saya berimaginasi atas gambaran tempat yang saya tempati, situasi lingkungan petani yang ada, dan terik matahari panas yang akan membakar kulit muda saya. Tak disangka, bahwa tak semua bayangan itu sama dengan situasi yang ada. Saya ditempatkan dilokasi transmigran orang jawa, terletak di pesisir tak jauh dengan pelabuhan Bakauheni. Secara sosial, aku seperti pulang ke rumah saja, mereka ramah dan sangat menerima kehadiran kami berdua. Namun dua hal lain yakni seputar radiasi dan petani hampir sama dengan bayangan. Terik surya daerah pasang surut memang tak bisa dianggap remeh.

Lingkungan di sini memang tidak jauh berbeda dengan lingkungan-lingkungan yang saya bayangkan sebelumnya. Masyarakat jawa yang transmigrasi dari jawa ke Lampung dalam rangka mencari sesuap nasi, kemudian menetap disini dalam satu komunitas khusus, yang akhirnya menjadi satu perkampungan besar yang berisi hampir dominan suku jawa. Ibarat kata selayaknya satu profinsi jawa tersendiri diluar pulau jawa.

Terik mata hari pada jam siang begitu menyengat. Tidak hanya menyengat secara temperaturnya, melainkan juga pada besarnya intensitas cahaya yang menyengat ke mata membuat sendi-sendi tubuh malas untuk beraktivitas keluar pada jam-jam tersebut. Panas angin dicampur pasir membuat kulit memang terasa lengket. Untungnya air nya tidak terlalu lengket masih relatif nyaman bagi saya. Belum lagi terkait dengan serangan teman malam (nyamuk) yang cukup tinggi dan agresif pada malamnya. Ini menjawab mengapa akhirnya ibu petani memasangkan kelambu tidur, Biar gak kena malaria katanya, hehe naudzubillah.

Awal-awal, yang dapat saya lakukan adalah bersosialisasi kemanapun dan kesiapapun yang saya temui, sembari identifikasi masalah dan analisis kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Saya telah bertemu dengan ketua gapoktan, beberapa petani, PPL, komandan TNI, dan beberapa warga. Cukup menarik memang karena berkenalan dengan orang baru akan memberikan wawasan baru. Saya menyadari bahwa kehadiran saya akan menjadi satu perhatian tersendiri bagi warga sekitar, makannya saya harus bisa menempatkan diri sebaik mungkin. Menarik, ini mungkin bisa menjadi laboratorium belajar bermasyarakat bagi pribadi saya.

Yang menarik lainnya, bahwa kehidupan petani tak selama terpuruk. Dalam beberapa media dan sorotan publik secara makro mungkin benar, bahwa sosok petani diibaratkan selalu terbelakang, un education, miskin, menjerit, tak kenal teknologi,tak pernah tersenyum, tak punya masa depan, tak prospek bagi anak mudanya, petani sering diberitakan di beberapa media koran dan media elektronik lainnyanya manakala terjadi bencana kekeringan, kebanjiran, ledakan penyakit dan hama, puso, hingga anjloknya harga yang kesemuanya selalu membuat iba setiap insan manusia yang mengamatinya. Namun satu sisi saya menemukan hal lain bagi sisi sosioekonomi para petani ini.

Meski baru hidup dua hari di rumah seorang petani, setidaknya ada beberapa hal yang bisa saya ambil kesimpulan. Pak Sage, nama ketua Gapoktan di Desa Pasir Sakti Lampung Timur yang kebetulan juga saya tempati hingga lima bulan nanti. Beliau memiliki pribadi yang sederhana, religius, dan semangat juang. Tak seperti anggapan bahwa petani tak pernah tersenyum. Justru profesi seperti ini membuat mereka banyak tersenyum. Mengapa demikian? Ketika berinteraksi dengan beliau dalam kondisi apapun saya tak pernah mendengar beliau dan istrinya mengeluh terhadap kehidupan dan takdir. Kalo terhadap bantuan pemerintah dan beberapa hal terkait pertanian emang ada lah beberapa. Tapi beliau tak pernah menolak menjadi sang manajer tanah air di bumiNya ini. Beliau selalu tertawa riang, energik, dan penuh syukur atas limpahan nikmatNya. Dari pagi beliau ke sawah laku siang sudah kembali pulang sembari menemui sang istri tercinta. Makan siang bersama dengan menu sederhana yang penuh selera. Agak sorenya, mereka sedikit santai-santai didepan rumah sambil menikmati rindangnya pohon yang tertiup angin sepoi-sepoi dari arah laut selat Sunda. Kemudian di tambah aktivitas lain higga magrib tiba. Pada petangnya, pak Sage dan istri mengajar ngaji anak-anak sekitar rumah dan seperti itu setiap harinya. Senyum, ramah, dan syukur menjadi aktivitas wajib untuk menjadi seorang Pak Sage, petani di Lampung Timur ini.


Pertanian adalah mengenai budaya dan kehidupan dari masyarakat kita. Pertanian pangan telah menjadi bagian dari kehidupan, perjuangan, pengabdian, nyawa dan tantangan bagi para pejuang pangan bangsa tercinta ini. Kehadiran saya sebagai pendamping petani mudah-mudahan bisa banyak membatu melebarkan senyuman para petani yang ada. Sebagai kaum akademisi, menjadi berguna bagi masyarakat terdekat disekitar kita adalah satu hal yang tak pernah bisa dinilai harganya. Tak butuh temuan tercanggih didunia jika tak dapat dipakai oleh masyarakat kita. Saya adalah bagian dari nyawa mereka, para pejuang syukur dinegeri ini, yang mengelola tanah air nusa, untuk siapa saja tak peduli para bandit dan dedemit yang ada di ibu kota sana.   

Lampung, 12 April 2017

Related Posts

Lampung Traveler
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.