![]() |
Bersama Sulis (LPPM), Bu sandra (Dosen IPB), Pak Sage (Petani), Ka Resti (Partner BJA), dan Pak Candra (DOsen IPB) |
Waktu begitu cepat, yang akhirnya
membawa saya terbawa ke daratan pulau seberang,
Sumatera. Selepas lulus ini, saya berkesempatan mengikuti program
pendamping peningkatan produksi kedelai melalui teknologi Budidaya Jenuh Air
pada areal pasang surut di Lampung Timur. Inilah yang akhirnya membawa saya tinggal
diwilayah Lampung selama kurang lebih lima bulan. Tak singkat rupanya.
Ini
adalah kali pertama saya bakal tinggal di sebuah pulau lain lebiih lama, bahkan
mungkin penerbangan pertama kali yang saya lakukan. Saya berimaginasi atas
gambaran tempat yang saya tempati, situasi lingkungan petani yang ada, dan terik
matahari panas yang akan membakar kulit muda saya. Tak disangka, bahwa tak
semua bayangan itu sama dengan situasi yang ada. Saya ditempatkan dilokasi transmigran
orang jawa, terletak di pesisir tak jauh dengan pelabuhan Bakauheni. Secara sosial,
aku seperti pulang ke rumah saja, mereka ramah dan sangat menerima kehadiran
kami berdua. Namun dua hal lain yakni seputar radiasi dan petani hampir sama
dengan bayangan. Terik surya daerah pasang surut memang tak bisa dianggap remeh.
Lingkungan
di sini memang tidak jauh berbeda dengan lingkungan-lingkungan yang saya
bayangkan sebelumnya. Masyarakat jawa yang transmigrasi dari jawa ke Lampung
dalam rangka mencari sesuap nasi, kemudian menetap disini dalam satu komunitas
khusus, yang akhirnya menjadi satu perkampungan besar yang berisi hampir
dominan suku jawa. Ibarat kata selayaknya satu profinsi jawa tersendiri diluar
pulau jawa.
Terik
mata hari pada jam siang begitu menyengat. Tidak hanya menyengat secara
temperaturnya, melainkan juga pada besarnya intensitas cahaya yang menyengat ke
mata membuat sendi-sendi tubuh malas untuk beraktivitas keluar pada jam-jam
tersebut. Panas angin dicampur pasir membuat kulit memang terasa lengket. Untungnya
air nya tidak terlalu lengket masih relatif nyaman bagi saya. Belum lagi
terkait dengan serangan teman malam (nyamuk) yang cukup tinggi dan agresif pada
malamnya. Ini menjawab mengapa akhirnya ibu petani memasangkan kelambu tidur, Biar
gak kena malaria katanya, hehe naudzubillah.
Awal-awal,
yang dapat saya lakukan adalah bersosialisasi kemanapun dan kesiapapun yang
saya temui, sembari identifikasi masalah dan analisis kemungkinan-kemungkinan
yang akan terjadi. Saya telah bertemu dengan ketua gapoktan, beberapa petani,
PPL, komandan TNI, dan beberapa warga. Cukup menarik memang karena berkenalan
dengan orang baru akan memberikan wawasan baru. Saya menyadari bahwa kehadiran
saya akan menjadi satu perhatian tersendiri bagi warga sekitar, makannya saya
harus bisa menempatkan diri sebaik mungkin. Menarik, ini mungkin bisa menjadi
laboratorium belajar bermasyarakat bagi pribadi saya.
Yang
menarik lainnya, bahwa kehidupan petani tak selama terpuruk. Dalam beberapa
media dan sorotan publik secara makro mungkin benar, bahwa sosok petani
diibaratkan selalu terbelakang, un education, miskin, menjerit, tak kenal
teknologi,tak pernah tersenyum, tak punya masa depan, tak prospek bagi anak
mudanya, petani sering diberitakan di beberapa media koran dan media elektronik
lainnyanya manakala terjadi bencana kekeringan, kebanjiran, ledakan penyakit
dan hama, puso, hingga anjloknya harga yang kesemuanya selalu membuat iba
setiap insan manusia yang mengamatinya. Namun satu sisi saya menemukan hal lain
bagi sisi sosioekonomi para petani ini.
Meski
baru hidup dua hari di rumah seorang petani, setidaknya ada beberapa hal yang
bisa saya ambil kesimpulan. Pak Sage, nama ketua Gapoktan di Desa Pasir Sakti
Lampung Timur yang kebetulan juga saya tempati hingga lima bulan nanti. Beliau memiliki
pribadi yang sederhana, religius, dan semangat juang. Tak seperti anggapan
bahwa petani tak pernah tersenyum. Justru profesi seperti ini membuat mereka
banyak tersenyum. Mengapa demikian? Ketika berinteraksi dengan beliau dalam
kondisi apapun saya tak pernah mendengar beliau dan istrinya mengeluh terhadap
kehidupan dan takdir. Kalo terhadap bantuan pemerintah dan beberapa hal terkait
pertanian emang ada lah beberapa. Tapi beliau tak pernah
menolak menjadi sang manajer tanah air di bumiNya ini. Beliau selalu tertawa
riang, energik, dan penuh syukur atas limpahan nikmatNya. Dari pagi beliau ke
sawah laku siang sudah kembali pulang sembari menemui sang istri tercinta. Makan
siang bersama dengan menu sederhana yang penuh selera. Agak sorenya, mereka
sedikit santai-santai didepan rumah sambil menikmati rindangnya pohon yang
tertiup angin sepoi-sepoi dari arah laut selat Sunda. Kemudian di tambah aktivitas
lain higga magrib tiba. Pada petangnya, pak Sage dan istri mengajar ngaji
anak-anak sekitar rumah dan seperti itu setiap harinya. Senyum, ramah, dan
syukur menjadi aktivitas wajib untuk menjadi seorang Pak Sage, petani di
Lampung Timur ini.
Pertanian
adalah mengenai budaya dan kehidupan dari masyarakat kita. Pertanian pangan telah
menjadi bagian dari kehidupan, perjuangan, pengabdian, nyawa dan tantangan bagi
para pejuang pangan bangsa tercinta ini. Kehadiran saya sebagai pendamping
petani mudah-mudahan bisa banyak membatu melebarkan senyuman para petani yang
ada. Sebagai kaum akademisi, menjadi berguna bagi masyarakat terdekat disekitar
kita adalah satu hal yang tak pernah bisa dinilai harganya. Tak butuh temuan
tercanggih didunia jika tak dapat dipakai oleh masyarakat kita. Saya adalah
bagian dari nyawa mereka, para pejuang syukur dinegeri ini, yang mengelola
tanah air nusa, untuk siapa saja tak peduli para bandit dan dedemit yang ada di
ibu kota sana.
Lampung, 12 April 2017
Lampung Traveler
4/
5
Oleh
Unknown