Sabtu, 30 September 2017

Tentang Anak


Anak adalah anugerah yang diberikan Allah kepada setiap orang tua. Luarbiasanya, setiap anak ditakdirkan menggemaskan dan lucu, serta sangat membahagiakan bagi siapapun yang dianugerahi, baik laiki-laki maupun perempuan. Kondisi anak pun berbeda-beda, ada yang baik, penurut, pembangkan, berani, suka menantang, berprestasi, penakut, nakal dan sebagainya. Sejauh ini di Kampung, banyak masyarakat yang beranggapan bahwa mengenai anak adalah dunia anak itu sendiri. Masyarakat masih banyak yang luput perhatian mereka atas faktor interaksi dan pengaruh lingkungan dimana anak-anak itu tumbuh, seperti siapa keluarganya, tetangganya, dan lingkungan bermainnya. Hal ini yang penulis anggap sebagai hal yang perlu diperbaiki.

Dalam realita, penulis melihat sendiri bagaimana persepsi orang tua kebanyakan yang cenderung melihat anak mereka sebagai individu mereka sendiri. Dengan konsekuensi bahwa mereka adalah sepenuhnya takdir baik fisik, mental, daya pikir (IQ), maupun perilakunya. Akhirnya, beberapa diantara mereka membanding-bandingkan dengan anak tetangga yang lebih gemilang, seraya merendahkan anak mereka dihadapan bocah tersebut. Padahal itu mungkin karena satu hal kecil yaang memang tidak dikuasai anak tersebut.

Beberapa orang tua merasa bahwa anak yang mereka punya telah ditakdirkan bodoh. Tidak seperti anak si A atau B yang lebih pintar. Parahnya lagi, mereka tidak mau tahu dan selalu menuntut anak-anak mereka menjadi sesuatu yang mereka inginkan tanpa disadari memberikan contoh keteladanan. Orang tua akhirnya seolah menjadi diktator bagi anak-anak mereka. Mereka tidak tahu bahwa semakin di paksa anak akan semakin sulit dikendalikan. Beberapa bahkan menyerah terhadap perilaku anak-mereka yang sudah membuat mereka malu dihadapan masyarakat umum. Lalu apa yang perlu dilakukan? Apakah ini memang kesalahan dari individu anak itu sndiri?

Kali ini, saya menikmati sebuah buku bacaan yang ditulis oleh Bunda Ve berjudul “Gadis Kecil itu Bernama ARA”. Buku ini mengisahkan begitu pentingnya sebuah pembelajaran bagi siapapun yang sedang mengasuh dan mengarahkan anak, termasuk sebagai orang tua. Itulah yang saya sebut sebagai “education for parent”. Banyak orang bisa ‘membuat’ anak tapi tidak bisa merawatnya. Merawat dalam hal ini tidak hanya mengenai kebutuhan biologis sang anak, namun lebih jauh lagi. Yakni mengenai kasih sayang dan  pendampingan, hingga membuat anak tumbuh berkembang dengan baik baik fisik maupun psikologisnya.  

Ara, seorang anak yang diceritakan dalam buku tersebut digambarkan sebagai gadis kecil yang sangat penurut. Meski penurut, sifat ini tidak berkorelasi positif dengan hasil akademiknya. Ara telah membuat Ibundanya, Ibu Maryam, mengelus dada akibat hasil raport dan ulangannya yang buruk. Ara dianggap anak yang bodoh, idiot, slow learner, dan tidak percaya diri. Kondisi ini yang akhirnya ditemukan oleh seorang pendamping bernama Bunda Ve, yang kemudian menjadi pendamping Ara dan menulisnya dalam bukunya kali ini.

Setelah diselidiki oleh Bunda Ve, salah satu faktor terbesar keterpurukan Ara adalah akibat perlakuan orang tua mereka sendiri. Tidak bisa dipungkiri, kondisi sulit dalam keluarga dan ketidak tahuan orang tua dalam mengarahkan anaknya membuat kondisi keluarga Bu Maryam seperti ini. Secara tidak sengaja, Bu Maryam telah menggiring Ara dalam kondisi yang lemah. Dia telah mematikan potensi yang ada dalam diri Ara. Perlakuan ini digambarkan dalam berbagai hal, seperti perkataan yang memfonis, tidakan yang melarang, memaksa, membentak, dan lain sebagainya. Hal-hal sederhana yang tidak disadari mampu membunuh karakter anak.

Lewat pendampingan yang dilakukan Bunda Ve, perlahan Bu Maryam di bimbing untuk mengubah persepsi terhadap anaknya. Pertama yang ia lakukan adalah mengubah persepsi sang Bunda agar memandang Ara sebagai anak yang pintar, dan gemilang. Bunda Ve menggiring agar fokus kepada karakter Ara yang baik, dan membuang jauh karakter sebaliknya. Begitupun pendampingan yang dilakukan kepada Ara, dibantu dengan asisten Bunda Ve- Miss Eva, Ara dibuat menjadi anak yang percaya diri dan berani mendobrak apa yang divoniskan orang tua dan guru Ara sebelumnya. Sekali lagi menggunakan metode yang sederhana. Yakni dengan mengajak bermain, selalu di puji (apresiasi), dan selalu gembira. Semua dilakukan dengan mengubah kata-kata menjadi kalimat yang membangun. Apapun dilakukan dengan menyenangkan, tanpa memfonis Ara sebagai anak yang bodoh.

Akhirnya, foktor pendampingan ‘psikologis’ itu berbuah  hasil. Luar biasa, hal yang seakan ranah psikologis itu berdampak pula pada akademis seorang Ara. Ara menjadi percaya diri, periang, dan pintar. Ara juga naik kelas dengan nilai akademis yang sangat memuaskan. Dari buku tersebut penulis berpendapat bahwa menjadi orang tua bukan hal yang sederhana. Prof.Sumantri mengatakan bahwa kegagalan anak usia sekolah, baik akademik maupun bidang lainnya, bukan karena mereka bodoh, melainkan karena kurang percaya diri.  Oleh karenaya, sebagai orang tua maupun calon orang tua harus belajar bagai mana menjadi orang tua sesungguhnya, yang memberikan cinta sepenuhnya.

Jepara, 30 September 2017 

Rabu, 27 September 2017

KH Ilyas Ruhiat, Ajengan Sunda dan totalitas pengabdiannya di NU

Awalnya saya hanya pernah mendengar sosok Rais Aam PBNU pada masa era Gus Dur. Saya hanya mendengar dari beberapa informasi bahwa beliau satu-satunya pejabat tertinggi di NU asli darah sunda. Tak terlalu terlihat dalam media sejauh yang saya dengar, namun kabarnya sangat berwibawa dan dijadikan panutan seantero tanah priyangan. Telisik saya, siapa sebenarnya beliau ini, sosok yang katanya menjadikan Tasikmalaya menjadi kota santri itu, sosok pejuang NU yang sangat ikhlas tersebut. Alhamdulillah, pada NLC II KMNU Nasional yang diselenggarakan di Bandung tahun lalu, saya dihadiahi sebuah buku dari salah seorang pembina KMNU STKS berjudul “Ajengan Cipasung, Biografi KH. Moh. Ilyas Ruhiat”, yang ditulis oleh Kang Iip D. Yahya. Dan Alhamdulillah, setelah hampir setahun tak terbaca, sekarang, akhirnya mampu menamatkan sebuah buku tersebut dengan sangat menikmati dan mengagumi sosok beliau ini. Berikut saya ceritakan ulang sedikit apa yang saya tangkap, semampu saya, dan maaf jika ada kesalahan dalam penafsiran, mohon masukannya.
            
Ajengan Ilyas, beliau adalah putra pertama dari salah seorang tokoh besar Cipasung bernama Abah Ruhiat, yang merupakan sahabat dekat KH. Abdul Wahid Hasyim. Selepas Abah Ruhiat wafat, sebagai anak pertama skaligus sosok yang dianggap paling mumpuni untuk melanjutkan kiprah dunia pesantren, Ajengan Ilyas diamanahi untuk memimpin roda kepemimpinan pesantren tersebut. Ajengan Ilyas pun tak bisa menolak dan memang jiwa kepatuhannya sebagai putra sang abah dan keilmuannya diyakini Abah mampu membuat Cipasung bersinar.

Dimasa mudanya, Ajengan Ilyas sudah diminta Abah untuk aktif dalam kepengurusan IPNU, baik tingkat Tasik maupun Jawa Barat. Berkat keaktifannya tersebut, beliau mengenal banyak sosok penggerak NU muda dari berbagai wilayah di Nusantara. Hingga dewasa, ajengan Ilyas selalu ikut dalam kepengurusan NU. Aktivitasnya dalam NU tidak justru meninggalkan segala aktivitas pesantren. Disela-sela kesibukannya, beliau selalu memantau segala yang terjadi di Cipasung. Beliau bahkan tidak pernah meninggalkan pengajian kamisan kecuali dilanda kesehatan yang memburuk. Beliau selalu memegang amanah sang Abah untuk mengurusi Cipasung apapun yang terjadi, dan selalu berpesan kepada semua saudara dan anak-anak beliau agar tidak ada istilah “Bekas Pesantren Cipasung”. Dalam berbagai hal, Ajengan Ilyas adalah orang yang selalu optimis dan pantang menyerah. Kesungguhannya dalam mendidik putera dan puteri beliau agar bersedia melanjutkan kiprah sebagai pemimpin Cipasung sangat terlihat jelas. Meski ketiga keturunan beliau tidak ada yang membidangi bidang ke-pesantren-an, beliau tetap berkeyakinan bahwa suatu saat mereka akan tetap membuat bersinar Cipasung dengan cara mereka masing-masing. Dan hal itu telah terbukti, berikut mereka juga menyadari betapa pentingnya menghidupkan dan memajukan Cipasung sesuai cita-cita sang Ajengan.

Beberapa hal yang saya tangkap dari beliau adalah beberapa sifat beliau yang perlu diteladani. Diantaranya adalah sifat kesantunan, selalu khusnudhdhan, tidak pernah berkubu meskipun suka berembug, tenang, ikhlas, berusaha merangkul semua pihak, dan totalitas Pengabdian di NU. Pada era beliau menjabat sebagai Rais Aam PBNU, tidak ada sama sekali yang menduga bahwa Ajengan ini akan menduduki posisi tersebut, bahkan wartawanpun. Namun keberadaan beliau yang tanpa tendensi kepada salah satu pihak dalam NU membuat semua orang tidak ada yang menolak keterpilihannya, yakni terpilihnya beliau jadi Rais Aam pada Muktamar Lampung. Terpilih lagi menjadi Rais Aam pada Muktamar Cipasung bukanlah menjadi niat bagi beliau. Beliau berprinsip bahwa terpilih adalah bukan maksud dan tujuan beliau, melainkan amanah dan kesepakatan muktamirin. Tak sedikitpun wajah beliau menunjukkan kegembiraan sebagai orang nomor satu dalam NU. Bahkan beliau mengatakan “semoga saya selamat”.

Pada muktamar Cipasung, yang kata KH. Munasir Aly sebagai muktamar paling kotor sepanjang sejarah, memang sangatlah berat. Waktu itu, NU di landa perpecahan akibat konflik dua kubu Cipete-Situbondo. Dalam situasi lain, muncul banyak pihak luar yang mulai berinfiltrasi masuk kedalam muktamar. Beberapa berkeinginan agar Gus Durlah yang  menjadi ketua tanfidziah sedangkan lainnya menolak. Ajengan Ilyas yang menjadi tuan rumah tidak terlalu memperdulikan hal itu, beliau berusaha netral dan mengayomi semua golongan. Baginya, upaya menjadi tuan rumah muktamar yang baik adalah tujuan utumanya.

Beliau terpilih menjadi Rais Aam pada muktamar cipasung. Terpilihnya beliau juga terjadi pada Gusdur yang mengalahkan Abu Hasan, sebagai ketua Umum PBNU.  Dalam banyak sumber mengatakan bahwa kepengurusan PBNU di bawah Ajengan Ilyas dianggap di stir oleh Gusdur, Namun bukan hal demikian. Ajengan Ilyas lah yang mampu berkoordinasi dengan Gus Dur dan berusaha menjadi sesepuh baginya. Karakter kesahajaan beliau lah yang membuat beliau lebih dikenal tenang. Beliau lebih berharap semua mematuhi hasil muktamar Cipasung. Hal ini yang dianggap orang beliau seakan pro Gus Dur, padahal maksud hati tidak ingin terjadi perpecahan dalam NU.

Beliau beberapa kali dikritik oleh banyak orang, baik dari luar maupun dari dalam tubuh NU sendiri. Sifat kalem, khusnudzdzan, sederhana, dan berusaha tidak berkubu dimaknai orang sebagai sosok yang tidak berpendirian. Namun hal itu bermakna lain bagi pihak yang memahami prinsip hidup Ajengan ini. Pada akhirnya, beliau salah satu orang yang berjasa mengantarkan Gus Dur menjadi Presiden RI. Pada saat itu, Gusdur menjadi ketua umum, dan Rais Aam dipegang oleh Ajengan Ilyas. Meski begitu, jasa Ajengan ini seakan luput dari pantauan media. Beliau juga yang sangat getol memegang prinsip kembalinya NU ke Khittah 1926 dengan seratus persen mengalihkan NU tidak pada rahan politik praktis.

Diantara prinsip hidup beliau yang patut di teladani adalah : beliau pernah mengatakan ketika ditanya seorang wartawan bahwa “hidup saya hanya untuk mengajar dan mengabdi di NU”. Beliau suka berlomba tapi tidak untuk berkomplot. Bekerja karena Allah dan tidak tergantung pada siapapun. Bersahaja, sederhana, dan sangat menjaga persatuan baik bagi NU maupun bagi bangsa. Ajengan Ilyas, salah satu tokoh yang sangat berkepribadian baik, mulia akhlaqknya, dan sederhana dari tanah sunda. Semoga kami dapat meneladani engkau. Amin.


 Jepara, 27 September 2017