Revolusi Hijau, sebuah gerakan massal dan massif dalam
peningkatan hasil produksi pertanian, khususnya padi dan gandum. Adalah
perubahan fundamental dalam pemakain teknologi dibidang pertanian yang mampu meningkatkan
tiga kali lipat prodktivitas dengan hanya penambahan 30% areal tanam (Pingali
2012). Revolusi Hijau (RH), yang telah mengubah wajah Indonesia dari pengimpor
beras menjadi negara berkecukupan pangan, dari yang rawan pangan menjadi
swasembada, dari petani berskala kantung menjadi skala karung, dan yang telah
mengantarkan presiden Soeharto, tahun 1984, maju membawa wibawa agung untuk
sekedar bertutur sapa dengan elit dunia di panggung FAO. Menarik sekali
ceritanya, dan sayang saya belum mengalaminya, karena saya generasi 90an, masih
bau kencur, katanya.
Menilik
cerita indah RH, ia ibarat bakteri ragi, yang menghasilkan sesuatu yang kelak
membunuhnya (mengubah karbohidrat menjadi etanol yang racun baginya). Cerita
indah RH ternyata bak sabun mandi yang tidak lagi wangi, semua sudah basi. Tapi
apa daya, semua sudah terjadi, dan mungkin itu adalah pelajaran terbesar
peradaban pertanian kita.
Dampak Negatif
Disamping dampak positif, RH telah sedikit
banyak menyumbangkan keterpurukan cerita indah pertanian kita. RH telah meninggalkan
bekas kegelapan berupa hilangnya plasma nutfah terbesar kita (Indonesia yang
megabiodiversitas), pemantap kemiskinan petani, hilangnya kearifan lokal, dan
kerusakan alam.
Plasma nutfah, berapa banyak genetika
tanaman Indonesia, negara dengan keragaman genetika yang tinggi, yang mungkin
belum semua ilmuwan dunia manapun telah mengidentifikasi kekhasan gen bermanfaat
tanaman kita, yang pada akhirnya hilang entah kemana akibat introduksi benih
yang gede hasile (high yielding variety). Dampaknya, jenis
tanaman lokal gak ditanam lagi, dan lenyap. Padahal untuk menjadi
tanaman yang ada, butuh evolusi jutaan tahun untuk bertahan dan menyesuaikan (seleksi
alam) dengan spesifik lingkungan yang ada. eh tiba-tiba, atas
keserakahan manusia, karena semua diukur dengan nominal hasil berlimpah,
makhluk-makhluk yang tidak berdosa itu di usir dari tempat tinggalnya, kemudian
hilang entah mengungsi kemana. Ketika kita sudah seperti ini, barulah kita
mencari-carinya kembali, mencoba mencari lagi gen lokal yang tahan penyakit dan
berproduksi tinggi. Padahal kita lupa kalau
kita yang telah mengusirnya. Dan betapa bodohnya kita.
Kemiskinan, Eloknya cerita RH ternyata
gak seindah para aktor-aktor di lapangan. Mereka tetap saja miskin dan
tertinggal. Mereka adalah korban proyek beberapa elit, untuk memenuhi keinginan.
Mereka yang tak berdosa, yang bahagia dengan caranya harus mengintroduksi
teknologi baru yang menggiurkan tanpa menghiraukan apakah kebahagiaan mereka bertambah
atau justru sebaliknya. Bahkan, sampai detik ini, ada jutaan petani kita
yang tetap saja miskin dan tertinggal, bahkan tambah mapan (kemiskinannya).
Dampak RH justru telah membuat petani
tidak mandiri, semua harus beli, pupuk, benih, pestisida. Tak seperti dahulu,
ketika petani masih belum tahu cerita RH, mereka pakai pupuk sendiri
(pupuk kandang), benih sendiri, dan tanpa pestisida, kalaupun pake pakainya pestisida hayati. Saat itu
ekosistem masih terjaga dan mekanisme alam dengan sendirinya mengatur apa yang
ada di dalamnya. Sekarang, harga hasil panen tidak nentu dan cenderung murah, padahal
cost produksi cukup tinggi. Akhirnya sektor ini seakan tidak
menjanjikan. Yang lebih mengkhawatirkan bukan generasi petani sekarang, tapi
10, 20 tahun kedepan, ketika anak-anak mereka memutuskan untuk tidak
melanjutkan profesi kepertanian ayahnya, akhirnya menjual lahan subur warisan
nenek moyangnya. Pada akhirnya pemerintah menjerit.... atas nama konversi
lahan. Kalau sudah begini, siapa yang bisa di salahkan.
Kearifan
lokal, Indonesia dengan ribuan budaya yang arif, termasuk budaya bertaninya.
Mereka punya cara sendiri untuk bertani dan bahkan telah terbukti mampu beradaptasi
terhadap spesifik lingkungannya. Tiba-tiba datanglah RH, mereka diharuskan
meninggalkan budaya aslinya, diharuskan mengikuti budaya baru untuk hasil
yang lebih ekstrem besar itu. Lalu, ternyata ada kabar bahwa budaya baru yang
tidak sesuai budaya lokal tidak akan bertahan. Efeknya, cara-cara budidaya
tanaman sesuai kultur lokal hilang dan terpaksa luntur akibat mengikuti hasil
penelitian para elit para saintis. Padahal, terkadang tempat penelitiannya jauh
dari lokasi nyata praktik lahan budidaya petani-petani itu. Seperti ada gap antara langit dengan bumi.
Kerusakan
alam, ini adalah puncak negatif dari dampak RH. Cara baru budidaya yang tak
pernah ada dalam cerita indah masyarakat kita membuat kita terjajah kembali,
terpesona dengan mainstream orang-orang jauh disana. Merupakan dampak
pemakaian pesetisida kimia dan pupuk kimia dengan hasil cepat dan nyata,
anehnya, praktik adopsi ini dipanggul para petani kita yang tak mengerti asal
usulnya, yang tak berintelek dan terbius untuk memakainya. Maksud hati
memeluk gunung, tetapi Akhirnya, jauh lebih buruk dari bayangan para saintis dunia.
Segalanya jadi runyam, semua makanan yang kita santap kabarnya beracun, mulai dari
beras, sayur, buah, daging, dan lain sebagainya. Bagaimana tidak was-was wong tiap hari isinya
kecemasan. Belum lagi kerusakan alam akibat bahan kimia-kimia itu, banyak
serangga bermanfaat mati, justru serangga yang tidak diinginkan malah tambah
ganas dan kuat. Semua lepas kendali. Mulai dari petani yang tak lagi mengerti
dengan apa yang terjadi di sawah-sawahnya sendiri. Teriakan mereka meminta
bantuan kepada orang yang bahkan mungkin tak pernah melihat lahannya langsung
semakin melengking. Para konsumen yang tak lagi bisa memilah dan memilih mana
makanan yang sehat dan tak sehat. Semua saling berteriak, saling menyalahkan
dan menuntut. Pemerintah dituntut tidak impor, padahal stok pangan terancam
kurang. Petani dituntut produksi besar, padahal mereka sudah kebingungan
sendiri. Mungkin, kalau bukan karena Tuhan, mereka sudah meninggalkan
pertanian.
Refleksi
Coba
kita pikirkan kedepan. Akankah generasi-generasi penerus mau melanjutkan
semuanya, jika generasi-generasi sekarang yang sudah terlanjur salah tidak mau
memperbaiki kesalahannya. Akankah Indonesia ini dengan kekayaan SDA bisa
kembali memperbaikinya. Bisa jadi ini akan menjadi amal jariah, baik jariyyah
pahala, atau justru jariyah dosa karena kutukan anak cucu kita.
Setidaknya
ada 5 hal yang menjadi solusi Poewanto dan Watimena (2012) dalam bukunya
"Merevolusi Revolusi Hijau, pemikiran Guru Besar IPB. Yang perlu di
revolusi kembali dari RH adalah pemanfaatan lahan pertanian diluar jawa,
pemuliaan tanaman spesifik lokasi, pertahankan lahan subur pulau jawa yang
tersisa, pembangunan pertanian berbasis SDM untuk kesejahteraan petani, dan
pembangunan energi nonfossil, serta tentunya dengan pendidikan pertanian.
RH mungkin pernah menjadi cerita indah maupun buruk
bagi kita, tetapi negara mana yang tidak pernah gagal dalam bersejarah. Negara
tidak boleh jadi pecundang kepada masalahnya sendiri, dan negara tak akan ada
apa-apanya jika masyarakatnya tidak bergerak. Optimisme perbaikan harus
tertanam mantab dalam benak setiap insan, terutama pemuda. Atau kita akan
menjadi seperti bakteri ragi yang melakukan suatu hal yang akan membunuh
generasinya sendiri, atau nenek moyang yang meninggalkan amal jariyah pahala untuk
anak cucu kita. Kalau kita sudah berani memulainya, kita juga harus berani
mengakhirinya.
RH dan NU
Nahdliyyin dengan 80 juta penduduknya,
dengan persebaran tidak merata yang terkumpul padat di pulau Jawa, dengan persebaran
60% di wilayah pedesaan merupakan salah satu komunitas masyarakat yang terpapar
langsung terhadap dampak RH. Sebagai petani, sebagian besar petani nahdliyin
merupakan petani kecil yang menjadi salah satu “korban” kebijakan penerapan RH.
Meski begitu, mereka juga pernah diuntungkan dengan cerita manis RH. Kondisi pertanian
pasca swasembada tahun 84 yang semakin buruk merupakan gambaran nyata dari mulai
munculnya dampak negatif penggunaan pestisida dan pupuk kimia secara berlebihan.
Sebagai pelaku dan korban cerita RH,
setidaknya NU harus semakin dasar untuk mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah
yang berkaitan dengan isu pertanian. karena mau tidak mau secara langsung
mengenai relung hajat hidup jamaahnya. Warga NU memang pernah menikmati RH,
namun semakin kesini mereka dihantui ketidak pastian hidup. Sebagai pelaku
pertanian, diakui bahwa banyak orang NU yang mengkonversi lahan, anak-anak NU
banyak yang tidak lagi mau meneruskan menjadi turun ke sawah, mereka cenderung miskin,
sebagaian mereka terbelakang, kurang berpendidikan, terbatas segala akses apapun
dan mungkin menjadi sebagian masalah dari negara. Namun dalam pandangan saya,
mereka menjadi demikian bukanlah secara kebetulan, namun ada sejarah panjang
yang mengakibatkan mata tulus mereka teracuni oleh kebijakan para elit yang
kebetulan memegang peran besar di Nusantara. Mereka adalah korban situasi yang
mungkin kitapun tak bisa menyalahkan situasi itu sendiri.
Sebagai kader muda NU terdidik, sudah
selayaknya kita tergerak untuk memikirkan nasib mereka, atau mungkin nasib kita
sendiri, yang adalah anak para petani NU itu. Mari kita memperbaiki nasib kita
dan nasib mereka. Setidaknya dengan membangun manusia 80 juta, kita sudah membangun
Indonesia. dan inilah salah satu bentuk bela negara.
Tak perlu susah-susah mengubahnya,
jika anda pegawai negeri, bekerjalah dengan baik demi negara, tak ada korupsi
tak ada nepotisme. Jika anda pengusaha, jadilah pengusaha yang jujur yang bersedia
mengulurkan tangan untuk mereka. Dan jika anda pelajar, belajarlah dengan sebaik-baiknya
pelajar, dari jurusan dan konsentrasi apapun anda berasal, karena setiap kita
adalah masa depan Indonesia. Ingat, ternyata banyak sekali masalah pertanian
yang terkadang diluar kuasa orang-orang pertanian (seperti : politik, ekonomi,
sosial, budaya dll).
Semoga kita selalu teringat dawuh guru kita bahwa “Petani adalah Penolong
Negeri” (KH.Hasyim Asy’ari)
Hasan Bisri,
Mahasiswa Departemen Proteksi Tanaman IPB.
Pustaka
Pingali
PL.2012.Green revolution; impacts, limits, and the path ahead.[procedings].109
(31). 12302–12308.doi:10.1073/pnas.0912953109.
Buku “Merevolusi
Revolusi Hijau, Pemikiran Guru Besar IPB”.2012.